Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No :
11/DSN-MUI/IV/2000,
tentang
Kafalah.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Menimbang :
a.
Bahwa dalam rangka menjalankan
usahanya, seseorang sering memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui akad
kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul
‘anhu, anshil).
b.
Bahwa untuk memenuhi kebutuhan
usaha tersebut, LKS berkewajiban untuk menyediakan satu skema penjaminan
(kafalah) yang berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
c.
Bahwa agar kegiatan kafalah
tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan
fatwa tentang wakalah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1.
Firman Allah QS. Yusuf (12) :
72 :
قالوا نفقد صواع
الملك ولمن جاء
به حمل بعير
وأنا به زعيم
Penyeru-penyeru
itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku
menjamin terhadapnya".
2.
Firman Allah QS. Al-Ma’idah
(5): 2:
... وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان ...
“Dan tolong
menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran”.
3.
Hadis Nabi riwayat Bukhari:
أنه عليه الصلاة والسلام أوتى بجنازة فقالوا يا رسول الله صل عليها قال هل ترك
شيئا ؟ قالوا لا قال هل عليه دين ؟ قالوا ثلاثة دنانير قال صلوا على صاحبكم فقال
أبو قتادة رضي الله عنه صل عليه يا رسول الله وعلي دينه فصلى عليه
“Telah dihadapkan
kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah
saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka,
beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun
bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab. ‘Ya’. Rasulullah
berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya).
Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka
Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin
Akwa’).
4.
Sabda Nabi riwayat Muslim:
والله
في عون العبد
مادام العبد في
عون أخيه (رواه مسلم وأبو
داود والترمذي)
“Allah
menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.”.
5.
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi
dari Amr bin Auf:
الصلح جائز
بين المسلمين إلا
صلحا حرم حلالا
أو أحل حراما
والمسلمون على شروطهم إلا
شرطاحرم حلالا أو
أحل حراما
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.”.
6.
Kaidah Fiqh:
الأصل في
المعاملات الإجابة إلا
أن يدل دليل
على تحريمها
Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
الضرر يزال
“Bahaya (beban berat)
harus dihilangkan.”.
Memperhatikan :
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada
Hari Kamis, tanggal 8 Muharram 1421 H / 13 April 2000.
Dewan Syari’ah Nasional
Menetapkan : FATWA TENTANG KAFALAH
Pertama : Ketentuan Umum Kafalah
1.
Pernyatan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.
Dalam
akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak
memberatkan.
3.
Kafalah
dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Kafalah
1.
Pihak
penjamin (Kafiil)
a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b.
Berhak
penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.
Pihak
Orang yang berhutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.
Sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin
b.
Dikenal
oleh penjamin.
3.
Pihak
orang yang berpiutang (Makfuul Lahu).
a. Diketahui identitasnya.
b.
Dapat
hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c.
Berakal
sehat.
4.
Obyek
Penjaminan (Makful Bihi).
a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang
berhutang, baik berupa uang,benda maupun pekerjaan.
b.
Bisa
dilaksanakan oleh penjamin,
c.
Harus
merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan.
d.
Harus
jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.
Tidak
bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga : Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :
08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M
DEWAN
SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
|
Sekretaris,
|
Prof.
KH. Ali Yafie
|
Drs.H.
A. Nazri Adlani
|
No comments:
Post a Comment