Fatwa Dewan Syari'ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 54/DSN-MUI/III/2006
tentang
Syari'ah Card.
بِطَاقَةِ اْلإئْتِمَانِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Menimbang :
a. Bahwa dalam rangka
memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dlam melakukan
transaksi dan penarikan tunai, Bank Syari’ah dipandang perlu menyediakan
sejenis Kartu Kredir, yaitu alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat
digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu
kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan
penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih
dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban
melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati
secara angsuran;
b. Bahwa Kartu Kredit
yang ada menggunakan sistem bunga (interest) sehingga tidak sesuai dengan
prinsip Syari’ah ;
c. Bahwa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atas kartu yang sesuai Syari’ah, Dewan Syari’ah
Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Syari’ah Card (بِطَاقَةِ اْلإئْتِمَانِ) yang fungsinya seperti Kartu Kredit untuk dijadikan
pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah swt,
antara lain :
a. QS. Al-Ma’idah
(5): 1:
يا أيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة
الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلي الصيد وأنتم حرم إن الله يحكم ما يريد
Hai orang
yang beriman! Penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamusedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki Nya.
b. QS. Al Isra [17] :
34 :
ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشده وأوفوا بالعهد إن
العهد كان مسؤولا
Dan janganlah kamu
mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat)
sampai ia dewasa; dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya.
c. QS. Yusuf [12] : 72 :
قالوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل بعير وأنا به زعيم
“Penyeru-penyeru itu berseru : Kami
kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
d. QS. Al-Maidah [5] : 2 :
يا أيها الذين أمنوا لا
تحلوا شعائر الله ولا الشهر الجرام ولا الهدي ولا القلائد ولا أمين البيت الحرام
يبتغون فضلا من ربهم ورضوانا وإذا حللتم فاصطادوا ولا يجرمنكم شنأن قوم أن صدوكم
عن المسجد الحرام أن تعتدوا وتعاونوا على البر
والتقوى ولا تعاونوا
على الإثم والعدوان
و اتقوا الله
إن الله شديد
Hai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (menganggu) binatang-binatang hadyu, dan binatang-binatang qala’id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya; dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
e. QS. Al Furqan [25]
: 67 :
والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا ومان بين ذلك قواما
Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.
f. QS. Al Isra [17] :
26-27 :
... ولا
تبذر تبذيرا إن المبذرين كانوا إخوان
الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا
Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan ( hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros
itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya.
g.
QS. Al Qashash [28]: 26:
قالت إحدهما ياأبت
استأجره إن خير من اتأجرت القوي الأمين
“Salah seorang dari kedua wanita
itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”.
h.
QS. Al-Baqarah [2] : 275 :
الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه
الشيطان من المس, ذلك بانـهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله
البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف, وأمره إلى
الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فبها خالدون
Orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaaan mereka yang demikian itu adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangt
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal
didalamnya.
i.
QS. An-Nisa [4] : 29 :
يا أيها الذين
أمنوا لا تأكلوا
أموالكم بينكم بالباطل
إلا أن تكون
تجارة عن تراض
منكم ولا تقتلوا
أنفسكم إن الله
كان بكم رحيما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
j.
QS. Al Baqarah [2] : 282 :
يا أيها الذين
أمنوا إذا تداينتم
بدين إلى أجل
مسمى فاكتبوه …
Hai orang-orang yang
beriman ! Jika kamu melakukan transaksi hutang piutang untuk jangka waktu yang
ditentukan, tuliskanlah …….
k. QS. Al Baqarah [2]
:280 :
وإن
كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة وأن تصدقوا خير لكم إن كنتم تعلمون
"Dan jika (orang berhutang
itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui."
2. Hadits Nabi saw,
antara lain :
a.
H
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari `Amr bin `Auf:
الصلح
جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا
شرطاحرم حلالا أو أحل حراما
"Perjanjian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram."
b. Hadits Nabi
riwayat Imam at Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al Muzani, nabi bersabda :
لا ضرر
ولا ضرار
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan
tidak boleh pula membahayakan orang lain.
c.
Hadis Nabi riwayat Bukhari dari
Salamah bin al ‘Akwa :
أن
النبي صلى الله عليه وأله وسلم أتى بجنازة ليصلي عليها فقال
هل عليه من دين ؟ فقالوا لا , فصلى عليه , ثم أتي بجنازة أخرى , فقال هل عليه من
دين ؟ قالوا نعم , قال صلوا على صاحبكم فقال أبو قتادة وعلي دينه يا رسول الله
فصلى عليه
"Telah dihadapkan
kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah
saw bertanya, `Apakah ia mempunyai hutang?' Sahabat menjawab, `Tidak'. Maka,
beliau men-salatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun
bertanya, `Apakah ia mempunyai hutang?' Sahabat menjawab, `Ya'. Rasulullah
berkata, `Salatkanlah temanmu itu' (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya).
Lalu Abu Qatadah berkata, `Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah'. Maka
Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut." .
d. Hadits Nabi
riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Abu Umamah Al-bahili, Anas bin
Malik, dan Abdullah bin Abbas, Nabi bersabda :
الزعيم غارم
“Za’im
(penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung hutang)”
e.
Hadis
riwayat Abu Daud dari Sa’ad Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
كنا نكرى
الأرض بما على
السواقى من الزرعوما سعد بالماء منها فنهانا رسول
الله صلى الله
عليه وأله وسلم عن
ذلك وأمرنا أن
نكريها بذهب أو
فضة
“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan
memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”.
f.
Hadis
riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w
bersabda:
من استأجر
أجيرا فليعلمه أجره
“Barangsiapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”.
g. Hadits Nabi
riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Nabi bersabda :
من
فرج عن مسلم كربة من كرب الدنيا فرج الله عنه كربة من كرب يوم القيامة والله في
عون العبد مادام العبد في عون أخيه
"Orang
yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan
melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya
selama ia (suka) menolong saudaranya"
h. Hadits riwayat
Jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah, Tirmidzi dari Abu
Hurairah dan Ibnu Umar, Nasa’i darai Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah,
Ibnu Majah dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibnu
Umar, Malik dari dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah), Nabi saw
bersabda :
مطل الغني ظلم) …… رواه الجماعة(
“ ... Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………”
i.
Hadis
Nabi riwayat Nasa’i Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid, Nabi saw bersabda :
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ
عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ
“Menunda-nunda (pembayaran)
yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi
kepadanya. “
j.
Hadits Nabi Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi
bersabda :
إن خيركم أحسنكم قضاء
“Orang
yang terbaik diantara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran
hutangnya”.
3. Kaidah Fiqh,
antara lain :
a. Kaidah :
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
b. Kaidah :
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan dapat menarik kemudahan”
- Kaidah :
الحاجة قد تنـزل منـزلة الضرورة
“Keperluan
dapat menduduki posisi darurat”
d. Kaidah :
الثابت بالعرف كالثابت بالشرع
Sesuatu yang
berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan
syara’ (selama tidak bertentangan dengan syari’at)
e. Kaidah
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritas
kan) atas mendatangkan kemaslahatan.
Memperhatikan :
1. Pendapat Fuqaha,
antara lain :
a. Imam al- Dimyathi
dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal 77-78 :
(لا بما سيجب كدين قرضٍ)
سيقع ... وذلك كأن قال : أقرِضْ هذا مائةً وأنا ضامنها, فلا يصحّ ضمانُه لأنه غير
ثابت. وقد تقدم للشارح في فضل القرض ذكر هذه المسألة وأنه يكون ضامنا فيها.
وعبارته هناك : ولو قال : أقرِضْ هذا مائةً ... وأنا لها ضامن فأقرضَه المائة أو
بعضها كان ضامنا على الأوجه. فيكون ما هنا من عدم صحة الضمان منافيا لما مرَّ عنه
من أنَّ الأوجهَ الضمانُ
"(Tidak
sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban,
seperti hutang dari akad qardh) yang akan dilakukan.... Misalnya ia berkata:
`Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.' Penjaminan
tersebut tidak sah, karena hutang orang itu belum terjadi. Dalam pasal tentang
Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu
kewajiban (hutang) yang belum terjadi dan menyatakan bahwa ia sah menjadi
penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: `Seandainya
seseorang berkata, Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku
menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan hutang kepada orang
dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi
penjamin menurut pendapat yang paling kuat (aitjah).' Dengan demikian,
pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan
dhaman (terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan
dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan
bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman."
b.
Khatib Syarbaini dalam Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II hal 202 :
(ويشترط في
المضمون) وهو الدَّيْنُ... (كونه) حقاًّ (ثابتا) حالَ العقد, فلا يصح ضمان مالم
يجبْ... (وضحّح القديم ضمان ما سيجب) كثمن ما سيبيعه أو ما سيقرضه, لأن الحاجة قد
تدعو إليه
"(Hal
yang dijamin) yaitu hutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi)
pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin hutang yang belum menjadi
kewajiban... (Qaul qadim --Imam al-Syafl'i-- menyatakan sah penjaminan terhadap
hutang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau
sesuatu yang akan dihutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang--
terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.”
c.
As
–Syirazi dalam Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
يجوز عقدُ الإجارة على المنافع المباحة ... ولأن الحاجة إلى المنافع كالحجة
إلى الأعيان, فلما جاز عقد البيع على الأعيان وجب أن يجوز عقد الإجرة على المنافع
"Boleh melakukan akad ijarah
(sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan... karena keperluan terhadap
manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Manakala akad jual beli atas
benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas
manfaat."
d. Sayyid Sabiq dalam
Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4, hal 221-222 :
اَلْكَفَالَةُ بِالْمَالِ هِيَ
الَّتِي يَلْتَزِمُ فِيْهَا الْكَفِيْلُ إِلْتِزَامًا مَالِيًا
“Kafalah
(jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajiban memberikan jaminan dalam
bentuk harta”.
e. Musthafa Abdullah al-Hamsyari
sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqar, dalam Kitab Ahsan al-Kalam fi
al-Fatawa wa al- Ahkam, Jilid 5 hal 542-543 :
إن الإعتمادات المستنديّة التي يتعهّد فيها البنك للمصدِّر بدفع
المُسْتَحَقّاتِ له على المستورد جائزة والأجر الذي يؤخذ في مقابلها جائز. وخرّج الجواز على أنّ طبيعة هذ التعامل
تدور بين الوكالة والحوالة والضمان. والوكالة بأجر لا حرمة فيها, وكذلك الحوالة
بأجر. والضمان بأجر خرّجه على ثمن الجاه الذي قيل فيه بالحرمة وبالكراهة, وقال
بجوازه الشافعية, كما خرّجه على الجعالة التي أجازها الشافعية أيضا.
وتحدّث عن خطابات الضمان وأنواعها,وهي التي يتعهد فيها البنك بمكتوب يُرسِلُه
– بناءً على طلب عميله – إلى دائن العميل يضمن فيه تنفيذَ العنيل لاِلتزاماته,
وقال إنّها جائزة. وخرّج ذلك على أنّها وكالة أو كفالة, وهنا جائزتان, والعمولة
عليها لا حرمة فيها. واعتمد في دراسته على المراجع والمصادر الإقتصدية وعلى كتب
الفقه في المذاهب المختلفة.
Letter of Credit
(L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada ekportir untuk membayar
hak-haknya (eksportir) atas importir adalah boleh. Upah yang diterima oleh bank
sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah boleh. Hukum “boleh” ini oleh
Musthafa al Hamsyari didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang
berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah). Wakalah dengan
imbalan (fee) tidak haram; demikian juga (tidak haram) hawalah dengan imbalan.
Adapun dhaman
(kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa al Hamsyari disandarkan pada imbalan
atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut madzhab Syafi’i, hukumnya
boleh (jawaz) walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau
makruh. Musthafa al Hamsyari juga menyandarkan dhaman (kafalah) dengan imbalah
pada ju’alah yang dibolehkan oleh madzhab Syafi’i.
Musthafa Abdullah al
Hamsyari juga berpendapat tentang bank garansi dan berbagai jenisnya. Bank
garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank - atas permohonan nasabahnya –
yang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi kewajiban-kewajiban
nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi
hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa disejajarkan dengan wakalah
dan kafalah; dan kedua akad ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan
imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.
2. Keputusan Hai’ah
Al Muhasabah wa al Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, bahrain,
al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004 : al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang
Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timam.
3. Fatwa-fatwa DSN
MUI :
a. Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Ijarah;
b. Fatwa DSN No.
11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah;
c. Fatwa DSN No.
17DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran ;
d. Fatwa DSN No.
19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh ;
e. Fatwa DSN No.
43DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh ;
4. Surat-surat
permohonan fatwa perihal kartu Kredit yang sesuai dengan prinsip syari’ah dari
bank-bank syari’ah antara lain :
a. Bank Danamon
Syari’ah ;
b. Bank BNI Syari’ah
dan
c. Bank HSBC
Syari’ah.
5.
Hasil Work Shop Dewan Syari’ah Nasional MUI bekerja
asama dengan DPbS-BI dan bank Danamon Syari’ah yang diikuti pula oleh beberapa
Bank Syari’ah di Ciawi Bogor, pada Mei 2005.
6.
Pendapat
Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional MUI pada hari Rabu, 18 Ramadhan 1427 H. /
11 Oktober 2006.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG
SYARI’AH CARD
Pertama
: Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Syariah Card adalah kartu
yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem
yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana
diatur dalam fatwa ini.
2. Para pihak sebagaimana
dimaksud dalam butir a adalah pihak penerbit kartu (mushdir
al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) dan penerima kartu
(merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).
3. Membership Fee (rusum al-’udhwiyah)
adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang
kartu, sebagai imbalan izin menggunakan kartu yang pembayarannya berdasarkan
kesepakatan.
4. Merchant Fee adalah fee yang
diberikan oleh merchant kepada penerbit kartu sehubungan dengan transaksi yang
menggunakan kartu sebagai upah/imbalan (ujrah) atas jasa perantara (samsarah),
pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn);
5. Fee Penarikan Uang Tunai
adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb
al-nuqud).
6. Ta’widh adalah ganti rugi
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan
pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
7. Denda keterlambatan (late
charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan
diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Kedua
: Hukum
Syariah
Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
Ketiga
: Ketentuan Akad
Akad
yang digunakan dalam Syariah Card adalah:
a. Kafalah; dalam hal ini Penerbit
Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas
semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang
Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau
ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima
fee (ujrah kafalah).
b. Qardh; dalam hal ini Penerbit
Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh)
melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
c. Ijarah; dalam hal ini Penerbit
Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang
Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.
Keempat
: Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card
a. Tidak menimbulkan riba.
b. Tidak digunakan untuk
transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
c. Tidak mendorong
pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan
pagu maksimal pembelanjaan.
d. Pemegang kartu utama
harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
e. Tidak memberikan
fasilitas yang bertentangan dengan syariah
Kelima
: Ketentuan Fee
a. Iuran keanggotaan
(membership fee) Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum
al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu
sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
b. Merchant fee Penerbit
Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan
sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq)
dan penagihan (tahsil al-dayn).
c. Fee penarikan uang
tunaiPenerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb
al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya
tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
d. Fee Kafalah Penerbit
kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
e. Semua bentuk fee tersebut
di atas (a s-d d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu
secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.
Keenam
: Ketentuan Ta’widh dan Denda
a. Ta’widh
Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
b. Denda keterlambatan (late
charge) Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang
akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Ketujuh : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak
tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 18
Ramadhan 1427 H / 11 Oktober 2006 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
|
Sekretaris,
|
KH. M.A Sahal Mahfudh
|
Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin
|