Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia
No: 12/DSN-MUI/IV/2000,
Tentang
Hawalah.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Menimbang :
a.
Bahwa
terkadang seseorang tidak dapat membayar hutang-hutangnya secara langsung;
karena itu, ia boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yang dalam
hukum Islam disebut dengan hawalah, yaitu akad pengalihan hutang dari satu
pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya.
b.
Bahwa
akad hawalah saat ini bisa dilakukan oleh LKS.
c.
Bahwa
agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu
menetapkan fatwa tentang hawalah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1.
Hadis
riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Rasululah bersabda:
مطل
الغني ظلم) …… رواه
الجماعة(
Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan
oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman … Maka, jika seseorang di antara kamu
dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu,
terimalah” (HR. Bukhari).
2.
Hadis
Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf:
الصلح
جائز بين المسلمين
إلا صلحا حرم
حلالا أو أحل
حراما والمسلمون على
شروطهم
إلا شرطاحرم حلالا
أو أحل حراما
“Perdamaian dapat dilakukan di
antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”.
3.
Ijma.
Para ulama sepakat atas kebolehan akad hawalah.
4.
Kaidah
Fiqh:
الأصل
في المعاملات الإجابة
إلا أن يدل
دليل على تحريمها
Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
الضرر
يزال
“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”.
Memperhatikan :
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah
Nasional pada Hari Kamis, tanggal 8 Muharram 1421 H / 13 April 2000.
Dewan Syari’ah Nasional
Menetapkan : FATWA TENTANG HAWALAH
Pertama :
Ketentuan Umum dalam Hawalah:
1.
Rukun
hawalah adalah muhil (المحيل), yakni orang yang berhutang dan
sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal (المحال
أو المحتال), yakni
orang berpiutang kepada muhil, muhal alaih(المحال
عليه), yakni
orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal,
muhal bih(المحال به), yakni hutang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2.
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3.
Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
4.
Hawalah
dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal dan muhal ‘alaih.
5.
Kedudukan
dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6.
Jika
transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal
dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Kedua
: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :
08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
|
Sekretaris,
|
Prof. KH. Ali Yafie
|
Drs. H. A. Nazri Adlani
|
No comments:
Post a Comment