Makalah Hukum Bisnis
Ilmu Kalam
Secara harfiah kalam berarti perkataan. Sedangkan
Ilmu Kalam sendiri dapat dipahami sebagai suatu kajian ilmiah yang berupaya
untuk memahami keyakinan-keyakinan keagamaan dengan didasarkan pada argumentasi
yang kokoh. Al-Iji pernah mengidentifikasi beberapa sebab yang mungkin menjadi
alasan penamaan disiplin keilmuan ini dengan istilah Ilmu Kalam, yaitu: (1)
Ilmu Kalam sebagai oposisi bagi Logika di kalangan filsuf; (2) Diambil dari
judul bab-bab dalam buku dengan pembahasan terkait yang umumnya diawali dengan
perkatan “al-kalam fi …“ (atau: pembahasan tentang …); dan (3)
Dinisbatkan kepada isu paling populer dalam perdebatan kaum mutakallim
(ahli kalam), yaitu tentang kalam Allah. Menurut al-Farabi, ilmu ini dapat
berguna untuk mempertahankan atau menguatkan penjelasan tentang akidah dan
pemahaman keagamaan Islam dari serangan lawan-lawannya melalui penalaran
rasional. Tetapi patut dicatat bahwa Ilmu Kalam yang berkembang dalam Islam
ini, sekalipun dalam pembahasannya banyak mempergunakan argumen-argumen
rasional, umumnya tetap tunduk kepada wahyu. Perbedaan yang kerap muncul hanya
terletak pada tingkat pengakuan fungsi akal untuk memahami wahyu serta tingkat
liberasi interpretasi dari skripturalitas (keharfiahan) pembacaan atas teks.
Pada lokus ini Ilmu Kalam dapat dibedakan dari Filsafat maupun Fikih.
Tasya Kubra Zadah mengatakan bahwa Ilmu Kalam bersandar
kepada apa yang datang dari agama tentang keyakinan-keyakinan kemudian mencari
hujjah rasional untuk meneguhkannya. Sedangkan Filsafat melakukan telaah
dengan rasio hingga menemukan dalil-dalil yang menopang suatu simpulan yang
dipandangnya sebagai kebenaran tanpa melihat lebih dulu apa yang ada dalam
sumber otoritatif agama. Jadi, moda-epistemologi mutakallim adalah berkeyakinan
dulu baru kemudian berdalil dengan memakai bahasan-bahasan filsafat, sedangkan
para filsuf berdalil dulu baru kemudian berkeyakinan yang menurut Ibnu Khaldun
pada dasarnya memang tidak bertendensi religius. Sekalipun kemudian, pembedaan
ini tidak mencegah adanya pencampuran antara Ilmu Kalam dan Filsafat bagi
kalangan mutakallim (teolog) khalaf. Adapun perbedaan Ilmu Kalam dengan Fikih
secara garis besar terletak pada fokus kajiannya. Jika mutakallim
berkonsentrasi pada aspek teologis atau dasar-dasar agama (usuliyah) yang
perlu dipahami umat agar tidak terjerumus pada kekufuran, maka fuqaha’
(ahli fikih) cenderung mengembangkan analisis terhadap aspek furu’iyah
ajaran Islam khususnya dimensi legalistik dari perbuatan manusia, baik ibadah
maupun muamalah.
A. Pengertian
Ilmu kalam
Ilmu kalam dalam bahasa Arab biasa diartikan sebagai ilmu
tentang perkara Allah dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu ilmu kalam biasa
disebut juga sebagai ilmu ushuluddin atau ilmu tauhid ialah ilmu yang membahas
tentang penetapan aqoid diniyah dengan dalil (petunjuk) yang kongkrit.
Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu
yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai
yang berkenaan dengan masalah dunia sampai maslah sesudah mati yang
berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu
ketuhanan secara filosofis.
Sedangkan, Ibnu Kaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai
disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang
diperkuat dalil-dalil rasional.
Melihat dari kedua definisi tersebut ilmu kalam bisa juga di
defenisikan sebagai ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan
menggunakan argumentasi logika atau filsafat. Oleh sebab itu sebagian teolog
membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Dalam kajian filsafat terdapat tiga metodologi yang menjadi
dasar untuk mengetahui kebenaran, yaitu :
1. Bayani yaitu metodologi untuk
mendapatkan kebenaran dari teks atau pengajian.
2. Irfani yaitu metodologi berfikir
yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realita spiritual
keagamaan.
3. Burhani yaitu metodologi yang tidak
didasarkan pada keduanya, namun atas dasar runtutan logika. Pada tahap tertentu
keduanya dapat diterima jika sesuai dengan logika.
B. Latar
Belakang Ilmu Kalam
Munculnya ilmu kalam menurut Harun Nasution, dipicu oleh
persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang
berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan
persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan
siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa
yang masih tetap Islam.
Dalam sejarah Islam di terangkan bahwa perpecahan golongan
itu tampak memuncak setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, sebagaimana
dikatakan oleh Hudhari Bik, Hal itu menjadi sebab perpecahan pendapat kaum
muslimin, yaitu satu golongan yang dendam atas Utsman bin Affan dan mereka yang
adalah orang-orang yang membai’at Ali bin Abu Thalib r.a, dan satu golongan
yang dendam atas terbunuhnya Utsman dan mereka adalah golongan yang mengikuti
Muawiyah bin Abu Sofyan r.a.
Setelah terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib r.a, Islam
telah terpecah menjadi tiga golongan yakni golongan khawarij adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidak sepakatan terhadap putusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim) dalam perang Siffin pada tahun 37H/648 M, dengan kelompok bughot
(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Golongan Murji`ah adalah orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing ke hari kiamat kelak. Golongan ketiga adalah syi`ah yaitu
orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya. Jika melihat dari sejarah
tersebut, awal dari ilmu kalam adalah karena adanya perbedaan atau perselisihan
pendapat yang kemudian menimbulkan sebuah argumentasi-argumentasi yang di
perdebatkan untuk membela masing-masing golongan dengan dasar yang bersumber
dari Al-Qur`an.
Harun Nasution mengatakan, Khawarij memandang bahwa Ali,
Muawiyah, Amr ibn Al-As, Abu Musa Al-Asy`ari dan lain-lain menerima abitrase
adalah kafir, karena Al-Qur`an mengatakan :
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S Al-Maidah – 44).
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa
lillah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah kedua yang di pimpin oleh khalifah
Al-Ma`mun, perkembangan ilmu kalam banyak di pengaruhi oleh kesusteraan Yunani,
khususnya pendapat-pendapat Aristoteles.
Pemerintahan Al-Ma`mun sendiri memberi sokongan kuat
terhadap ahli kalam, mengalahkan ahli hadits. Sehingga menimbulkan peperangan
argumentasi antara ahli kalam dengan ahli hadits. Hudhari Bik mengatakan, Para
Ahli hadits telah sepakat untuk melawan gerakan kalamiah ini, dan jumhur
bersama mereka (ahli hadits), maka apa yang mereka maksudkan dapat tercapai.
Harun Nasution mengatakan, Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal
itu bagi kaum intelegensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Islam
Abbasiah di permulaan abad ke-9 Masehi sehingga khalifah Al-Ma`mun (813-833 M),
putra dari khalifah Harun Ar-Rasyid (766-809 M) pada tahun 827 M menjadikan
teologi Mu`tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Pada masa
pemerintahan khalifah Al-Mutawwakil pada tahun 856 M, aliran Mu`tazilah ini
mendapatkan perlawanan yang bukan sedikit di kalangan umat Islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi
tradisional yang disusun oleh Abu Hasan Al-Asy`ari (935 M), yang kemudian
terkenal dengan teologi Al-Asy`ariah atau mazhab Al-Asy`ariyah. Di samping
aliran Asy`ariah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang
aliran Mu`tazilah, aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi
(944 M), aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturidiah.
C. Kesimpulan
Pengertian ilmu kalam itu sama dengan ilmu tauhid yakni ilmu
yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika
atau filsafat. Karena argumentasi logika dan filsafat lebih menonjol, maka
sebagian teolog membedakan antar ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Melihat sejarah latar belakang munculnya persoalan ilmu
kalam tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa tuduhan kafir kaum Khawarij
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr ibn Al-As,
Abu Musa Al-Asy`ari dan lain-lain yang telah menerima abitrase (tahkim) yang
kemudian menimbulkan sebuah argumentasi-argumentasi yang di perdebatkan untuk
membela masing-masing golongan dengan dasar yang bersumber dari Al-Qur`an yakni
surat Al-Maidah ayat 44.
D. Perbedaan ilmu
kalam, filsafat dan tasawuf
Ilmu kalam yang menjadi
objek pembahasan adalah Ketuhanan, sehingga bersifat rasional dan tradisional,
sedangkan filsafat yang menjadi objek pembahasan adalah masalah Ketuhanan
berupa alam ini, sehingga bersifat keilmuan (sains) dan filsafat. Dan tasawuf
yang menjadi objek pembahasan adalah Tuhan, sehingga hanya bersifat praktis dan
teoritis.
Disiplin Keilmuan Tradisional Islam
: Ilmu Kalam (Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
Ilmu Kalam adalah salah satu dari
empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi
kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh,
Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan
dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal
lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan
keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat
esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi
hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya
seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi
mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan
sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian
Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama
kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli
yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam
sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya
sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu
Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim.
Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai
Ilmu Aqa'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul (Kepercayaan), Ilmu
Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan Tuhan), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin,
yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat
dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam
merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh
namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi
tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam,
yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok
ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan
pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu
pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh,
kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah
mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian
Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi
khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian
tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup
jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali
menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat
disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya
di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab
'Aqidah al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal
Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan
kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama
al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali
bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya,
metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti
secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.
Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya,
Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari
disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan
skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan
sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa
menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra
(Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan
masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang
politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk
pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh
dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini
dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam
('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri.
Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi
sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam
pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar
dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau
logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan
kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan",
tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya.
Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu
logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan
Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti
"logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam
amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan
Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka
menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang
peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah
menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah
terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah
itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang
giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran)
pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau
Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur
sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan
Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang
yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan
penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa
'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak
adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah
kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim),
harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia
berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus
dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung
mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah,
suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia
mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang
buruk.
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut
beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi
Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai
berikut:
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang
memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah
orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah
sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman
itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu
orang sekitar itu.[1]
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena
Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu
Sufyan, dalam "Peristiwa Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan
diplomatis dan kehilangan kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu mereka
memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan
sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti
sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah
sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu
(bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah,
juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah
mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiffin" tersebut. Tapi kaum
Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali,
sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat
sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr,
karena rupanya mirip). [2]
Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan
eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam
perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok
problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran
Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang
paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang.
Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan
salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut
Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan
kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya
kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam
adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili
ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang
pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran
keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham
Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga
berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk
penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham
Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa
dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal)
tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin
memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada
manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak
mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh
manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God.
Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai
hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya
sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat
kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka,
adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan
konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang
mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat
("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah ("pembebas"
[Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi.
Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum
Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal
(namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak
mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih
penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran
rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan
(seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum
Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya
kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam
bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun
al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian
paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang
dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat
mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh
penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham
pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk
Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7] Salah satu masalah yang diperselisihkan
ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak
terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits
(terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa
Arab)?[8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah
berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti
Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan
topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat
Allah sendiri.[9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah
karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak
berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah
meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat
inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam
membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali
dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M),
dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah
satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu
Kalam, dan juga Falsafah Islam."[10]
C. Plus-Minus Ilmu Kalam
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi
monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota
Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang
terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran
Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham
Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah.
Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah,
kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh
dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan
sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa
"jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah
Kalam menganut al-Asy'ari.
Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan
sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun
terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori
tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih
besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni,
dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan",
bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah
pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan
Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang),
dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat
terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal
selamat:
...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase
pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi
pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji
ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene
ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni
Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah
Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.[11]
(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh
puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat,
sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang
selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan
Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa
'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).
Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi
yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal"
dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadits
(Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam
mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan
lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam
metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil
mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh
yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam
mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh
al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh
al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran
Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham
Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud
menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri,
yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori
itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam
keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni
dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas
perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya
keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu,
dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa
menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan
diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam
nadham Jawharat al-Tawhid demikian:
Wa indana lil abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran
fa 'l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara
(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan
ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhiv tindakannya. Jadi manusia bukanlah
terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat
sekehendaknya).
Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal
paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:
... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone. Maka ana
madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah,
metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li
al-syaribin.[12]
(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat.
Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan
Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang
menyegarkan orang yang meminumnya).
Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran
kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum
Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum
Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya
kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan
Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari
kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu
alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih
mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn
Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang
menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn
Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia
tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan
demikian:
... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian
orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn
Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini
menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal...
Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam
masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini
pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa
pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak
atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]
Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit
dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb
alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang
terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk
seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut"[14] Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa
pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan
Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam
oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[15]
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam
kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan
kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah
kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql,
"salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab Suci maupun
Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan Mut'azilah, cenderung
mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali,
cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah
interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode
al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam
hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan
"bi la kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada
antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya,
bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan
merupakan unsur kesuksesan sistemnya.
Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga
epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti
halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak
menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari
premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau
al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak
ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih
daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).[17] Demikian pula konsep-konsep Aristoteles
yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas,
relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep
tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn
Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia
luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam
kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la
fi al-adzhan).[18]
Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak
intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan
manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui
tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.[19] Fithrah yang merupakan asal kejadian
manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati
nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai
"fithrah yang diturunkan" (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi
kaum Kalam baginya adalah sesat.[20]
Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang
Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad
ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu
Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai
hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia
melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat
dari bukti-bukti dan dalil-dalil.[21]
Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa
pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada
Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.[22]
CATATAN
8 Karena
dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat
kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi
ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu
atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah,
mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum
Mutakallim, sesuai dengan makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim
(pembicaraan, hampir mengarah kepada arti "orang yang banyak
bicara"), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui
pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq,
hh. 205-206).
9 Berkenaan
dengan kontroversi ini, seorang orientalis kenamaan, Wilfred Cantwell Smith
dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada (tempat
banyak ahli keislaman Indonesia dan Dunia belajar dan mengajar, termasuk, Prof.
H.M. Rasydi), membandingkan paham orang Islam, khususnya aliran Sunni, dengan
paham orang Kristen. Kata Smith, yang sebanding dengan al-Qur'an dalam Islam
itu bukanlah Injil dalam Kristen, melainkan diri 'Isa al-masih atau Yesus
Kristus. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran Sunni) memandang
al-Qur'an itu qadiim seperti Dzat Ilahi, orang-orang Kristen memandang 'Isa
sebagai penjelmaan Allah dalam sistem teologia Trinitas, yang juga qadim, sama
dengan al-Qur'an. Jadi jika bagi agama Islam al-Qur'an itulah wahyu Allah
(Inggris: revelation, pengungkapan diri), maka bagi agama Kristen 'Isa al-Masih
itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan Injil bukanlah wahyu, melainkan
catatan tentang kehidupan 'Isa al-Masih, sehingga tidak sama kedudukannya
dengan al-Qur'an, tetapi bisa dibandingkan dengan Hadits. Maka sejalan dengan
itu Nabi Muhammad tidaklah harus dibandingkan dengan 'Isa al-Masih (karena dia
ini "Tuhan"), tetapi dengan Paulus (karena dia ini, sama dengan Nabi
Muhammad, adalah "rasul"). (Lihat, W. C. Smith, Islam in Modern
History [Princenton, N.J.: Princeton University Press, 19771, hh.
17-18 fn). Pandangan Islam tentang Isa al-Masih sudah sangat terkenal, dan
tidak perlu dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik
mengetahui bahwa sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam
kontroversi dan polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya,
Paulus (Arab: Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura
masuk agama Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham
bahwa 'Isa al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan
bahwa peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah
ibn Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa
dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba', kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh
Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke dalam Islam dengan tujuan merusak agama
itu dari dalam, dengan mengembangkan paham yang salah dan serba melewati batas
tentang Ali ibn Abi Thalib dan Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana
kemudian dianut oleh kaum Rafidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat,
Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4, h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik
serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah
pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri.
10 Disini
perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat buruk,
tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah
reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam
"liberalisme" Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham
Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap menghalangi "liberalisme"
dan kebebasan itu, khususnya kaum "fundamentalis" (al-Hasywiyyun,
sebuah sebutan ejekan, yang secara harfiah berarti kurang lebih "kaum
sampah" karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap
ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di
Spanyol kemudian Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama
paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi
paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu
telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.
11 Hajj
Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat
al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang
terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego, tanpa data
penerbitan), hh. 27-28.
13 Minhaj,
jil. 1, h. 172.
17 Lihat
Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h.
25,164 dan 202.
21 Abu
Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid (Qumm:
Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.
MELURUSKAN
KERANCUAN ISTILAH "FUNDAMENTALISME ISLAM"
Belakangan ini kita
mengenal istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam
fundamentalis". Istilah ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala
nasional maupun internasional. Istilah "fundamentalisme Islam" atau
"Islam fundamentalis" ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers
terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas,
Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy.
Penggunaan istilah fundamentalisme yang 'dituduhkan' oleh media massa terhadap
gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan
memberikan gambaran yang 'negatif' terhadap berbagai aktivitas mereka, juga
bertujuan untuk menjatuhkan 'kredibilitas' mereka di mata dunia.
Apa sesungguhnya makna
istilah fundamentalisme? Bagaimana asal-usul istilah tersebut, dan siapakah
sebenarnya kaum "fundamentalisme" itu? Insya Allah, artikel ini akan
membahasnya secara mendalam.
Istilah 'ushuliyah'
(fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut, adalah berasal dari Barat,
dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Sementara, istilah
'ushuliyah' dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai
pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana
pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang.
Perbedaan pemahaman dan
substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering
terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum
muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal
keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu.
Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan
budaya, politik, dan media massa
kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan
berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda
pengertian, latar belakang dan pengaruhnya.
Istilah yasar (kiri)
misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk
menunjukkan orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta
orang-orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara, dalam
pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada orang-orang kaya raya,
orang-orang yang berkecukupan, dan orang-orang yang menikmati kehidupan enak.
Istilah yamin (kanan)
misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk
menunjukkan orang-orang kuno, terbelakang dan kaku. Sementara, dalam wacana
pemikiran Arab dan Islam, dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang
yang beriman dan beramal sholeh, sehingga mereka datang kepada Tuhan mereka
pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatan-perbuatan mereka yang
baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan
ketenangan.
Oleh karena itu, Imam
Abdul Hamid bin Badis (1307-1359 H) berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dengan do'anya, "Ya Allah jadikanlah aku di dunia termasuk kelompok
orang-orang yasar (kiri) dan jadikanlah aku di akhirat termasuk kelompok
orang-orang yamin (kanan)". Tentunya sesuai dengan pemahaman pemikiran
Islam, bukan pemahaman pemikiran Barat.
A. Asal Usul
Fundamentalisme di dunia Barat
Fundamentalisme di
dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang
berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih
luas, yaitu "Gerakan Millenium". Gerakan ini mengimani kembalinya
Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna
mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan
manusia.
Prototipe pemikiran
yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh
teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan
atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani
dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis
atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini,
orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali
secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena
mereka menafsirkan "mimpi Yohana" (kitab Mimpi 20-1-10) secara
literal.
Ketika fundamentalisme
Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20,
terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu
melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan
para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan
memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus.
Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung
untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi
dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan
ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan
mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka
juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya,
seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan
kampanye-kampanye untuk membela "hak-hak" orang-orang yang
berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok,
dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah "fundamentalisme"
dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.
B. Makna Istilah
Ushuliyah dalam Wacana Pemikiran Islam
Dalam visi Arab dan
dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik
kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah
"fundamentalisme". Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu yaitu
al-ashlu dengan makna 'dasar sesuatu' dan 'kehormatan'. Bentuk pluralnya adalah
ushul (QS Al-Hasyr : 5) (Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna 'akar' (QS
Ibrahim : 24).
Al-ashlu juga disebut
bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu' (parsial-parsial)
dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama
ushul fikih, "Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci." Dan,
"ushul" adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima.
Bagi ulama ushul fikih,
kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, 'dalil'. Dikatakan bahwa
asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, 'kaidah umum'. Dan ketiga,
'yang rajih' atau 'yang paling kuat' dan 'yang paling utama'. (Lihat kitab
Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma'arif)
Dalam peradaban Islam
telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih
akbar. Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah
dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan
hukum-hukum syara' praktekal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul
hadits atau mushthalah hadits.
Demikianlah warisan
keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak
mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertian yang
dikenal Barat atas istilah ini.
Hingga dalam pemikiran
Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam
kajian-kajian ilmu fikih, kita dapati ia bermakna, "Kaidah-kaidah
pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang
menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah (legislasi) umum, serta pokok-pokok
tasyri'iyah general seperti : (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan
apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta
(5) ta'arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah satu probabilitas
hukum)." Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan
dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal
oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.
Terlepas dari pemahaman
itu, apakah dalam aliran-aliran pemikiran Islam dan mazhab-mazhabnya --baik
yang lama maupun yang baru-- terdapat aliran pemikiran atau mazhab yang
menyikapi teks-teks suci seperti sikap orang-orang fundamentalis Barat, yakni
menggunakan penafsiran literal atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolak
segala metafor dan takwil atas sesuatu nash (teks), meskipun zahir teks itu
jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil akal? Hingga dapat dikatakan bahwa
sikap aliran atau mazhab ini terdapat nash-nash Islami yang suci adalah sama
persis dengan aliran fundamentalis Kristen terhadap Injil dan "kitab
suci" mereka? Sehingga, kemudian dapat membenarkan kebenaran
"fundamentalisme Islam" dengan pengertian Barat yang negatif terhadap
istilah "fundamentalisme" ini?
Jawaban terhadap
pertanyaan ini adalah sama sekali tidak ada. Seluruh aliran pemikiran Islam
yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul-hadits, kaum
zhahiriyah, maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya
menerima majas (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga
hampir tercapai ijma bahwa nash-nash yang tidak dapat ditakwilkan, yang dalam
istilah ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara sebagian
besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad.
Sedangkan, perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam
kadar penakwilan itu: ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada
yang sedang-sedang saja, ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun,
penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam. (Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm 210-232, Kuwait, 1972)
Berikut ini beberapa
definisi tentang "penakwilan" yang dikemukakan oleh para pemikir
Islam :
1. Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Dalam kitab Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati
wasy-Syar'iah min al-Ittishal mendefinisikan "penakwilan" sebagai :
"Mengeluarkan arti (dilalah) dari dilalah hakiki ke dilalah majasi, tanpa
melanggar kaidah bahasa Arab dalam proses itu. Seperti menanamkan sesuatu
dengan : yang mirip dengannya, sebabnya, yang setelahnya, yang mengiringinya,
dan hal-hal lain yang dimasukkan dalam pendefinisian macam-macam kalam
majasi."
2. Imam Al-Ghazali (1058-1111 M)
Beliau telah meluaskan skup takwil yang dapat
diterima itu menjadi lima
tingkat terhadap keberadaan sesuatu yang dibicarakan oleh nasih itu. Kelima
tingkatan itu adalah : wujud zati (hakiki), wujud hissi (indrawi), wujud
khayali (imajinatif), wujud aqli (akal), dan wujud syibhi (keserupaan). Dengan
tingkatan-tingkatan penakwilan yang lima
ini, orang yang melakukan penakwilan itu adalah masuk dalam lingkup tashdiq
(pembenaran terhadap agama) dan keimanan, dan darinya tertolak tuduhan
mendustakan agama atau kezindikan. Imam Al-Ghazali mengatakan : "Setiap
orang yang meletakkan suatu redaksional hadits dan suatu nash dari Al-Qur'an,
pada salah satu tingkat takwil ini maka ia termasuk orang yang membenarkan
agama. Karena, pendustaan adalah mengingkari seluruh makna-makna dalam semua
tingkatan ini, dan mengklaim bahwa semua yang diberitakan oleh nash-nash adalah
dusta semata. Dan, itu adalah kekafiran dan kezindikan. Sementara orang-orang
yang melakukan penakwilan tidak menjadi kafir selama ia menetapi kaidah-kaidah
penakwilan.
Kemudian beliau menegaskan, bahwa seluruh mazhab
Islam telah menggunakan takwil. Katanya, "Seluruh kelompok Umat Islam pada
akhirnya terpaksa menggunakan takwil. Dan kelompok yang amat membatasi diri
dari menggunakan takwil adalah Ahmad bin Hambal (780-885 M). Sementara,
kalangan Asy'ariyah dan Muktazilah, karena keduanya lebih mendalam dalam kajian
rasio, maka mereka banyak melakukan penakwilan terhadap makna-makna zahir teks
dalam masalah-masalah akhirat, kecuali sedikit. Dan, Muktazilah adalah kelompok
yang paling banyak menggunakan penakwilan.
3. Imam Muhammad Abduh (1849-1905 M)
Beliau menjadikan "pendahuluan atas akal atas
zhahir syara' ketika terjadi benturan antara keduanya" sebagai pokok dari
pokok-pokok Islam. Ia berkata, "Pemeluk Islam telah sepakat kecuali
seditkit orang yang tidak memikirkannya bahwa jika ada pertentangan antara akal
dan naql maka diambil pemahaman yang ditunjukkan oleh akal. Kemudian, bagian
naql itu dilakukan dua jalan pendekatan : pertama, jalan penerimaan atas
keabsahan naql itu, sambil mengakui ketidakmampuan diri untuk memahaminya,
serta menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah SWT. Dan, jalan yang kedua
adalah menakwilkannya, sambil memperhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab dakan
menakwilkannya, sehingga maknanya sesuai dengan apa yang dipahami oleh akal.
4. Imam Hasan Al-Banna (1908-1949 M)
Beliau menafikan kemungkinan perbedaan,
"Dalil-dalil berdasarkan nazhar syar'i (kacamata syar'i) dengan nazhar
aqli (kacamata akal) dalam hal-hal yang qath'i. Oleh karena itu, hakikat ilmiah
tidak akan berbenturan dengan kaidah syari'at yang tetap. Sementara, yang
zhanni (samar-samar) darinya ditakwilkan sesuai dengan yang qath'i (pasti).
Sedangkan, jika keduanya zhanni maka nazhar syar'i lebih utama untuk diikuti,
hingga nazhar alki membuktikan kekuatannya atau ia lenyap. Islam yang hanif
(lurus) dapat menjelaskan masalah ini dengan tuntas, ia menyatukan antara
keimanan yang ghaib dan menggunaan akal. Dan kepada model pemikiran yang
menyatukan antara dua kal ini: yang ghaib dan yang ilmiah, kami mengajak
manusia. (Hasan Al-Banna, Risalah Ta'lim hlm 271)
Demikianlah sikap para pemikir Islam terhadap majas
(metafor) takwil, dan penafsiran literal terhadap nash-nash, yang sama sekali
tidak mengandung pengeritan "fundamentalisme", seperti yang dikenal
oleh Kristen Barat.
Oleh karena itu, tidak ada satu pun mazhab-mazhab
Islam yang hanya membatasi diri pada makna literal nash-nash dan menolak
seluruh bentuk takwil, sehingga dapat dinamakan sebagai kelompok
"fundamentalisme" dengan pengertian Barat atas istilah itu. Dan
karena kondisi "kontemporer Islam" tidak berbeda dengan
"generasi awal Islam" maka aliran-aliran pemikiran Islam baik modern
maupun kontemporer, tidak pernah melahirkan aliran yang sama dengan
"fundamentalisme" Kristen Barat.
Dengan demikian, kita menemukan perbedaan yang jelas
hingga secara diametral antara pemahaman dan pengertian istilah
"fundamentalisme" seperti dikenal oleh Kristen Barat, dengan
pemahaman istilah ini dalam warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran
pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kontemporer. Kaum
'fundamentalis' di Barat adalah orang-orang yang kaku, dan taklid yang memusuhi
akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini
dan membatasi diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin
dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok
ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal
atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan
pembaruan.
Fakta ini menjadikan kasus istilah ushuliyah
(fundamentalisme) sebagai satu contoh dari sekian contoh kerancuan pemikiran
yang timbul dari sikap yang tidak membedakan antara pemahaman-pemahaman yang
berbeda -- dan kadang-kadang bertentangan -- yang diciptakan oleh
peradaban-peradaban yang berbeda atas suatu istilah yang sama, yaitu
dipergunakan oleh anggota-anggota peradaban yang berbeda itu.
Sedangkan, istilah "fundamentalisme"
dengan pengertian Barat adalah sesuatu yang asing dari realitas Islam, yang
dijejalkan oleh kekuatan "agresi media massa". Karena, fundamentalisme di Barat
bermakna 'orang-orang kaku', sementara dalam warisan intelektual Islam
menunjukkan kaum yang ahli tajdid (pembaruan), ijtihad, dan penyimpulan hukum.
DEFINISI QADHA DAN QADAR SERTA KAITAN
DI ANTARA KEDUANYA
Pengertian Qadha’ dan
Qadar Menurut bahasa Qadha’ memiliki beberapa pengertian yaitu:
hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut
istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman
Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan
makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian,
peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan
ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu
sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah :
اَّلذِيْ
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ اْلاَرْضِ وَ لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَ لَمْ يَكُنْ
لَهُ شَرِيْكٌ فِي الْمُلْكِ وَ خَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَرَهُ تَقْدِيْرًا.
Artinya: yang
kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala
sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS
.Al-Furqan ayat 2).
A. Menurut Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd :
1. QADAR
Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari
qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). [1]
Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’
adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir / puncak segala sesuatu. Maka qadar
adalah: akhir / puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu
akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai’ aqdi-ruhu, dan aqduruhu
dari at-taqdiir.” [2] Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah:
Qadha’ (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa
Jalla dari qadha’ (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara. Takdir
adalah : Merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu. Qadar itu sama
dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar. [3]
Qadar menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang
berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan
dikehendaki oleh hikmah-Nya. [4] Atau: Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya
dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa
Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang
akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah Subhanahu wa Ta’ala
pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai
dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun
terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya. [5] Atau: Ilmu Allah,
catatan (takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya
terhadap segala sesuatu tersebut.
2.
QADHA’
Qadha’ menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan,
kepastian dan penjelasan. Asal (makna)nya adalah: Memutuskan, memisahkan,
menen-tukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyele-saikannya.
Maknanya adalah mencipta. [6]
B. Hubungan
antara Qadha’ dan Qadar
Pada uraian tentang
pengertian qadha’ dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha’ dan qadar selalu
berhubungan erat . Qadha’ adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak
zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi
hubungan antara qadha’ qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa
qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman :
وَاِنْ
مِنْ شَيْءٍ اِلَّا عِنْدَنَا خَزآ ئِنُهُ وَ مَا نُنَزِّلُهُ اَلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُوْمٍ.
Artinya ” Dan tidak
sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya
melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
C. Kaitan Antara
Qadha’ dan Qadar :
1. Dikatakan,
bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’
ialah penciptaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Maka Dia
menjadikannya tujuh langit… .” [Fushshilat: 12] Yakni, menciptakan semua itu.
Qadha’ dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak
terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi,
yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha’.
Barangsiapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud
menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. [7]
2. Dikatakan
pula sebaliknya, bahwa qadha’ ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya
Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan
sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. [8] Ibnu Hajar
al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah
ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar
adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.” [9]
3. Dikatakan,
jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari
keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua
pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana
jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di
dalam (pengertian)nya.[10]
[Disalin dari kitab
Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir,
Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit
Pustaka Ibntu Katsir]
Catatan
1 An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnu Katsir, (IV/22).
2 Mu’jam Maqaayiisil Lughah, (V/62) dan lihat an-Nihaayah, (IV/23).
3 Lihat, Lisaanul ‘Arab, (V/72) dan al-Qaamuus al-Muhiith, hal.
591, bab qaaf - daal - raa’.
4 Rasaa-il fil ‘Aqiidah, Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin, hal. 37.
5 Lawaami’ul Anwaar al-Bahiyyah, as-Safarani, (I/348).
6 Lihat, Ta-wiil Musykilil Qur-aan, Ibnu Qutaibah, hal. 441-442.
Lihat pula, Lisaanul ‘Arab, (XV/186), al-Qaamuus, hal. 1708 bab qadhaa’, dan
lihat, Maqaa-yiisil Lughah, (V/99).
7 Lisaanul ‘Arab, (XV/186) dan an-Nihaayah, (IV/78).
8 Al-Qadhaa’ wal Qadar, Syaikh Dr. ‘Umar al-Asyqar, hal. 27.
9 Fat-hul Baari, (XI/486).
10 Lihat, ad-Durarus Sunniyyah, (I/512-513).
No comments:
Post a Comment