Saturday, December 14, 2013

Kedudukan dan Fungsi Pancasila

Makalah Hukum Bisnis

BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah

      Sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa lain kita wajar memiliki harga diri, bahkan memiliki kesadaran kebangsaan. Karena itu pendahulu-pendahulu kita (pendiri Republik Indonesia) merumuskan secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita, yang kemudian dinamakan Pancasila.

      Negara Republik Indonesia memang tergolong muda dalam barisan-barisan Negara-negara di dunia, tetapi bangsa Indonesia berkembang dari sejarah dan kebudayaan yang panjang, melalui pasang surut berbagai kerajaan di Indonesia sejak Kerajaan Kutai, Tarumanegara, sampai Sriwijaya dan Majapahit. Kemudian mengalami masa penderitaan penjajahan selama tiga setengah abad, sampai akhirnya bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

      Oleh sebab itu bangsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri bersama dengan lahirnya bangsa dan Negara. Kepribadian itu dikukuhkan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia, ialah Pancasila. Bangsa Indonesia lahir dengan kekuatan sendiri, sebagai perwujudan percaya pada diri sendiri, sebagai aktualisasi kepribadian bangsa Indonesia.

      Nilai Pancasila diwarisi dalam sosiobudaya bangsa, ditetapkan sebagai dasar Negara sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan wawasan dan cita-cita nasional yang luhur, pendiri Negara kita, mufakat menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara untuk ditegakkan (diamalkan dan dilestarikan).

      Kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang berakar dari kepribadian bangsa ditingkatkan sebagai dasar Negara yang mengatur hidup kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Pancasila slalu dikukuhkan dalam kehidupan konstitusional, Pancasila selalu menjadi pegangan bersama pada saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita, merupakan bukti sejarah bahwa Pancasila selalu menjadi milik bangsa Indonesia, sebagai dasar kerohanian, sebagai dasar Negara.

      Berdasarkan fakta sejarah, jiwa dan nilai Pancasila sudah ada dan dipraktekkan dalam tata nilai dan tata budaya Indonesia. Pancasila telah merupakan kepribadian (identitas) kita. Kenyataan jiwa dan nilai Pancasila dalam sosiobudaya ini tampak dalam sikap hidup yang antara lain mengutamakan asas-asas : kepercayaan kepada Tuhan (teisme), kesadaran kekeluargaan dan gotong royong, musyawarah mufakat dan kesadaran keadilan social, teposeliro dan setia kawan (solidaritas). Inilah perwujudan filsafat hidup atau pandangan hidup bangsa.

      Berdasarkan atas orientasi proses budaya dan sejarah bangsa, para pendahulu / pendiri Negara (BPUPKI / PPKI) mengangkat dan merumuskan kedudukan dan fungsi Pancasila dalam Negara kita adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar Negara  (filsafat negara). Namun karena Pancasila mengandung nilai universal maka kedudukan Pancasila termasuk fungsinya dapat mewadahi seluruh aspek kehidupan. Karenanya setiap warga Negara wajib menghayati dan mengamalkan Pancasila, sesuai kedudukan dan fungsi pokoknya yaitu sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Republik Indonesia.

  1. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia ?
  2. Bagaimana Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia ?
  3. Bagaimana Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia ?



BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
     
      Sebagai bangsa / Negara yang merdeka dan sederajat dengan bangsa lain, kita pun mempunyai pandangan hidup yang disepakati oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah Proklamasi (yang disahkan pada tanggal 19 Agustus 1945), yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

      Pancasila sebenarnya bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan melalui proses yang sangat panjang dan dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa Indonesia sendiri, dengan melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, serta diilhami oleh ide-ide besar dunia, akan tetapi tetap berpegang pada kepribadian bangsa Indonesia sendiri.

Kita sama-sama tahu bahwa manusia dan kebudayaan merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Demikian juga manusia Indonesia dengan kebudayaannya tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebagai identitas yang mewujudkan / menunjukkan ciri khas bangsa Indonesia sendiri, kebudayaan Indonesia telah mempunyai nilai-nilai luhur sebagai telah dibuktikan dengan faktor sejarah. Nilai-nilai luhur adalah suatu tolok ukur kebaikan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup manusia, seperti cita-cita yang hendak dicapainya dalam hidup manusia.

      Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang lahir dan tumbuh dari sejarah dan kebudayaan kita yang telah berabad-abad lamanya. Suatu kebudayaan yang menampakkan keselarasan sebagai kunci kebahagiaan manusia, yaitu suatu kebudayaan yang didasarkan pada kesadaran bahwa pada akhirnya kebahagiaan manusia tergantung pada kemauan dan kemampuan manusia Indonesia dalam menempatkan diri dalam konteks keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam menjalin hubungan baik antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan masyarakatnya, antara manusia dengan alamnya dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, serta dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kehidupan rohaniah.

      Konsep selaras, serasi dan seimbang, baru dapat berjalan dengan baik apabila setiap manusia Indonesia mau dan mampu mengendalikan dirinya, dalam arti bahwa sikap hidup manusia pancasila adalah :

  1. Kepentingan pribadinya tetap diletakkan dalam rangka kewajibannya sebagai makhluk social dalam kehidupan masyarakatnya.
  2. Kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya.

      Transformasi pandangan hidup dari masyarakat menjadi pandangan hidup bangsa dan akhirnya menjadi dasar Negara juga terjadi pada pandangan hidup Pancasila. Pancasila sebelum dan sesudah dirumuskan menjadi dasar Negara serta ideologi Negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat-istiadat, dalam budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pandangan yang ada pada masyarakat Indonesia tersebut kemudian menjelma menjadi pandangan hidup bangsa yang telah dirintis sejak zaman Sriwijaya, Majapahit kemudian Sumpah Pemuda 1928. Kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri Negara dalam sidang-sidang BPUPKI, panitia “Sembilan”, serta siding PPKI kemudian ditentukan dan disepakati sebagai dasar Negara Republik Indonesia, dan dalam pengertian inilah maka Pancasila sebagai Pandangan Hidup bangsa Indonesia.

      Maka jelaslah makna Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan dasar Negara, adalah kristalisasi nilai-nilai sosiobudaya bangsa Indonesia, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad yang kuat pada bangsa Indonesia untuk mewujudkannya. Kristalisasi adalah sesuatu yang telah tersaring dari nilai-nilai yang ada, sehingga merupakan sari pati atau inti pokok yang telah mengkristal, kuat, kokoh, tidak dapat dipecah-pecah lagi.

      Dengan pandangan hidup yang mantap maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya. Dengan suatu pandangan hidup yang diyakininya bangsa Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat sehingga tidak terombang-ambing dalam menghadapi persoalan tersebut. Dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana mengenal dan memecahkan berbagai masalh politik, social budaya, ekonomi, hukum, hankam dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju.

      Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia meliputi jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yaitu :

1.   Pancasila sebagai Jiwa Bangsa Indonesia

Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia berarti tata nilai bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya, sehingga menimbulkan tekad yang kuat (sebagai sumber motivasi) secara intrinsic, untuk membimbing bangsa Indonesia mempertahankan keberadaannya sekaligus dalam mengejar kehidupan lahir dan batin yang makin baik (luhur).

      Nilai Pancasila, terutama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sesungguhnya hidup di dalam jiwa dan hati nurani kita. Artinya, kesadaran hati nurani dan akal budi kita akan selalu dijiwai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Jadi, pribadi manusia baik sebagai pribadi maupun sebagi bangsa, tetap meyakini nilai-nilai itu sebagai isi dan kualitas kepribadian kita. Ini berati Pancasila  merupakan perwujudan jiwa dan kepribadian bangsa.

Kedudukan dan fungsi ini sangat penting karena ibarat bangsa Indonesia sebagai tokoh tunggal tidak akan berarti apa-apa tanpa jiwa yang memberikan kekuatan hidup yakni cita-cita dan perjuangan. Hal ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa : semua bangsa punya jiwa (Volkgeist) yang dikemukakan oleh Von Savigny.

2.   Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia

      Nilai Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia berarti Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia, serta merupakan cirri khas yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Akan tetapi kelima sila Pancasila sebagai satu-kesatuan yang bulat dan utuh itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

      Dalam zaman kemajuan seperti sekarang, dimana hubungan antar bangsa demikian erat, maka membangun masyarakat modern harus membuka diri. Bangsa yang menutup rapat-rapat dirinya akan tertinggal oleh kemajuan zaman, akan tertinggal oleh kemajuan bangsa-bangsa lain. Dalam usaha meletakkan dasar-dasar masyarakat modern bukan saja menyerap masuknya modal asing, teknologi, ilmu pengetahuan dan keterampilan dari luar, akan tetapi terbawa masuk pula nilai-nilai sosial dan politik yang berasal dari kebudayaan lain. Masuknya nilai-nilai kebudayaan lain makin deras mengalir sejalan dengan kebebasan yang dengan sadar juga kita buka kembali. Yang penting bagi kita adalah agar kita mampu menyaring nilai-nilai dari luar tadi, agar nilai-nilai yang baik dan sesuai dengan kepribadian kita sendirilah yang kita serap. Nilai-nilai yang tidak sesuai lebih-lebih yang dapat merusak kepribadian kita sendiri, harus mampu kita tolak. Karena itu salah satu persoalan pokok bangsa kita adalah bagaimana kita memelihara nilai-nilai yang kita anggap luhur yang menjadi kepribadian kita sendiri, meneruskannya dari generasi yang satu ke generasi yang berikutnya dengan segala proses penyesuaian menuju masyarakat modern.

B.  Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

      Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, sumber kaidah hukum Negara yang secara konstitusional mengatur Negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, serta pemerintahan Negara.

Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hokum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta akidah, baik moral ataupun hokum Negara, dan menguasai hokum dasar baik yang tertulis atau Undang-Undang Dasar maupun yang tidak tertulis atau convensi. Dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

      Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagi sumber tertib hukum di Indonesia maka Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi Negara yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana dari kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, serta hukum positif lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

  1. Pancasila sebagai dasar Negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerokhanian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran.
  2. Meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhinterground) dari UUD 1945.
  3. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar Negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis).
  4. Mengandung norma yang mengharuskan Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai berikut : “… Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
  5. Merupakan sumber semangat bagi Undang-Undang Dasar 1945, bagi penyelenggara Negara, para pelaksana pemerintahan (juga para penyelenggara partai dan golongan fungsional). Hal ini dapat dipahami karena semangat adalah penting bagi pelaksana dan penyelenggara Negara, karena masyarakt dan Negara Indonesia senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Dengan semangat yag bersumber pada asas kerokhanian Negara sebagai pandangan hidup bangsa, maka dinamika masyarakat dan Negara akan tetap diliputi dan diarahkan asas kerokhanian Negara.

Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara Repubik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV yang bunyinya sebagai berikut : …maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagaimana telah ditentukan oleh pembentukan Negara bahwa tujuan utama dirumuskannya Pancasila adalah sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966, ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan ketetapan MPR No. IX/ MPR/1978. Dijelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hkum Indonesia yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak bangsa Indonesia.


  1. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia


Suatu bangsa memerlukan landasan filosofi bagi kelangsungan hidupnya, sekaligus berfungsi sebagai dasar dan cita-cita atau tujuan nasional yang hendak dicapai. Filsafat tersebut dapat diartikan istilah lain misalnya ideologi Negara, pandangan hidup bangsa, landasan idiil bangsa, ideologi nasional, atau apapun namanya.

Menurut Laboratorium Pancasila IKIP Malang, ideologi adalah seperangkat nilai filsafat sosial politik yang mendasar pada suatu masyarakat atau suatu kebudayaan. Ideologi dapat bersumber dari proses pertumbuhan suatu bangsa atau dibina melalui propaganda. Hal ini sejalan dengan Negara Republik Indonesia, yang lahir bersama-sama ideologinya sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri. Sebab itu lahir dengan kepribadian sendiri yang bersamaan dengan lahirnya bangsa dan Negara, kemudian ditetapkan menjadi pedoman hidup dan ideologi negaranya yaitu Pancasila.

Sebagai suatu ideologi bangsa dan Negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau sekelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan masyarakat Indonesia sebelum membentuk Negara, dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila.

Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri Negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar Negara dan Ideologi bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan Negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Oleh karena ciri khas Pancasila itu maka memiliki kesesuaian dengan bangsa Indonesia.

Berdasarkan asas dan fungsi Ideologi nasional suatu bangsa maka peranan ideologi Pancasila dalam kehidupan bangsa dan Negara republik Indonesia dapat kita kemukakan pokok-pokoknya sebagai berikut :

  1. Pancasila sebagai ideologi berfungsi sebagai nilai yang diyakini kebenarannya dan juga kebaikannya sehingga menjadi sumber inspirasi dan motivasi perjuangan nasional. Karenanya Pancasila mampu mengatasi rintangan-rintangan baik sebelum dan sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945. Pancasila sebagai dasar dan falsafah ideologi Negara dan pandangan hidup masyarakat Indonesia akan selalu membimbing segala gerak kegiatan bangsa, Negara dan masyarakat serta manusia Indonesia.
  2. Pancasila sebagai ideologi Negara, nilai dan isinya menjadi sumber cita-cita dan perjuangan untuk dilaksanakn atau diwujudkan, karenanya ideologi menjadi motivasi pendayagunaan potensi nasional. Sehingga gerak dan arah kita harus dijiwai oleh Pancasila. Artinya pembangunan itu bukan saja menghasilkan kemakmuran, tetapi juga harus menjadi keadilan sosial bagi bidang-bidang kebendaan / lahiriah dalam keseimbangan dengan bidang-bidang kejiwaan / rohaniah. Dengan ini maka keselarasan antara kemajuan lahir dan kesejahteraan batin akan dapat dicapai.
  3. Ideologi Pancasila sebagai ideology terbaik. Keterbukaan ideology Pancasila bukan saja merupakan suatu penegasan kembalidari pola piker yang dinamis dari para pendiri Negara tahun 1945, tetapi juga merupakan suatu kebutuhan konseptual dalam dunia modern yang berkembang dinamis.

Dengan penegasan Pancasila sebagai ideologi terbuka diharuskan mempertajam nilai-nilai dasarnya yang bersifat pribadi,  dan juga didorong untuk mengembangkan secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan zaman. Ada tiga asas suatu ideologi yang harus diperhatikan yaitu :

  1. Nilai Dasar yang Lestari

Yaitu hakikat kelima sila Pancasila yang bersifat universal, sehingga dalam nilai dasar tersebut terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan dianggap benar. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan suatu norma dasar yang merupakan tertib hukum tertinggi, sebagai sumber hukum positif sehingga dalam Negara memiliki kedudukan sebagai ‘staatsfundamentalnorm’ atau pokok kaidah Negara yang fundamental. Dengan ideologi terbuka nialai dasar inilah yang bersifat tetap dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara, sehingga mengubah pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai dasar ideology Pancasila tersebut sama halnya dengan pembubaran negar. Adapun nilai dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang didalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggara Negara, hubungan antara lembaga penyelenggara Negara beserta tugas dan wewenangnya.

  1. Nilai Instrumental yang Berkembang dan Dinamis

Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk pada adanya undang-undang sebagai pelaksana hukum dasar tertulis (nilai instrumental yang berkembang dan dinamis). Nilai instrumental harus tetap mengacu kepada nila-nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bias dilaksanakan secara kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan  semangat yang sama dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dijabarkannya. Dokumen konstitusional yang disediakan untuk penjabaran secara kreatif dan dinamis dari nilai-nilai dasar itu adalah GBHN (instrumental) yang merupakan kewenangan MPR, peraturan-peraturan, perundang-undangan dan kebijaksanaan pemerintah lainnya. Apapun bentuknya ada satu syarat yang merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam penjabaran ini, yaitu disepakati seluruh bangsa.

  1. Nilai Fraksis

Penyelenggara Negara sebagai kenyataan dari nilai-nilai, baik nilai dasar maupun nilai instrumental, kedua-duanya masih bersifat abstrak. Artinya, nilai-nilai itu tidak dapat melaksanakan dirinya sendiri, masih memerlukan dukungan manusia yang menganut nilai-nilai itu untuk mewujudkannya dalam kenyataan (pikir, kata, tindakan). Maka, dibutuhkanlah nilai praksis sebagai realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengalaman yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari, berbangsa dan bernegara (lihat BP-7 Pusat 1994:8). Dalam realisasi fraksis inilah maka penjabaran nilai-nilai Pancasilasenantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspirasi rakyat.



Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural

Makalah Hukum Bisnis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sudah sepatutnya kita sebagai anak bangsa berbangga atas prestasi yang telah ditorehkan negeri tercinta ini. Dengan segala bentuk kerja keras, akhirnya Indonesia menempatkan diri sebagai salah satu negara miskin didunia.[1]
Prestasi itupun membuahkan hasil dengan adanya penghargaan berupa aliran dana segar dan semakin memantapkan posisinya dalam daftar negara penghutang. Sungguh ironis, namun itulah yang terjadi. Fenomena kemiskinan ini akan semakin tampak nyata dan bentuk pengorbanannya berupa ratapan tangisan anak bangsa dan peluh para buruh yang terkapar.
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang  masih semu. Apakah karena secara struktural Indonesia ini miskin atau mungkin  secara kultural Indonesia ini miskin.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana kemiskinan struktural?
2.     Bagaimana kemiskinan kultural?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya.[2]
Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. 
Kemiskinan, dalam realitasnya selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.[3]
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

B.    Akar Permasalahan Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar penyebab kemiskinan.
Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan majemuk meliputi tiga aspek yaitu :
1.     Kelembagaan: rakyat miskin tidak punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan, sedangkan kelembagaan yang ada tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang muncul dari bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari atas oleh kelembagaan yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.
2.     Regulasi: kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada potensi rakyat menutup kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar proses pemiskinan.
3.     Good governance: tidak adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami aspirasi rakyat miskin sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan, yaitu:
a.      Aspek politik yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1)     Tidak ada budaya demokrasi yang mengakar.
2)     Keputusan-keputusan politik yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik dari luar negeri.
3)     Tidak ada kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi.
4)     Tidak berdayanya mekanisme dan sistem perwakilan politik menghadapi kepentingan modal.
b.      Aspek ekonomi yang mengakibatkan munculnya kemiskinan yaitu:
1)     Kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi.
2)     Rendahnya akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
3)     Spekulasi mata uang.
c.      Aspek sosial budaya yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1.      Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2.      Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan social.
3.      Marginalisasi mayoritas rakyat.
4.      Lemahnya kelembagaan yang ada.
5.      Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat .
Berbicara tentang kemiskinan struktural, artinya struktur yang membuat orang menjadi miskin, dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan akses secara baik. Disebut kemiskinan kultural, adalah budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas atau kebudayan kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orang tuanya atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi kurang. Semakin banyak program-program yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan, namun makin banyak pula jumlah orang miskin.[4]
Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Di dunia ini, sudah sunatullahnya terdapat hal-hal yang bertolak belakang. Siang dan malam, kebaikan dan keburukan, keberhasilan dan kegagalan, juga kaya dan miskin. Kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dinilai sebagai suatu hal yang harus diberantas hingga hilang dari permukaan bumi. Namun, permasalahan timbul akibat jurang yang lebar antara kaya dan miskin sehingga lahirlah permasalahan sosial lainnya yang lebih kompleks seperti kriminalitas, prostitusi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, masalah kesehatan dan pendidikan dsb. Karena itu, untuk menangani permasalahan tersebut, dibutuhkan analisis yang tajam serta penangangan secara komprehensif dan berkesinambungan oleh seluruh pihak yang terkait dengan hal ini. Berdasarkan hasil survei BPS Maret 2009, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta 14,15 persen).[5]
Di Indonesia, fenomena kemiskinan muncul tidak hanya pada dimensi ekonomi atau material saja. Ia juga menyentuh dimensi lain yaitu sosial budaya sehingga muncullah istilah cultural poverty yang dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam teorinya. Hal ini muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib, dan kurang memiliki etos kerja.[6] Karena penyebab kemiskinan ini muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, maka upaya menanggulanginya juga harus dari dalam diri manusia tersebut. Dalam aset komunitas, terdapat beberapa modal dalam suatu masyarakat. Salah satunya adalah modal spiritual.
Spiritualitas adalah jiwa dari upaya pemberian bantuan. Ia adalah sumber dari empati dan perhatian, denyut dari kasih sayang dan unsur utama dari kebijakan praktis, serta dorongan utama pada kegiatan pelayanan. Pekerja sosial mengetahui bahwa peran, teori, dan keterampilan profesional yang kita miliki menjadi tidak bermakna, kosong, melelahkan, dan tidak hidup tanpa adanya spiritualitas.[7]  
Dorongan dalam diri seseorang yang bersumber dari kekuatan transedental manusia dengan kekuatan lain yang tak kasat mata serta lebih berkuasa darinya, di luar diri manusia, yang membawa orientasi manusia tidak semata-mata mengarah ke tujuan duniawi, tetapi lebih jauh lagi ke kehidupan yang lebih hakiki. Modal spiritual tersebut memiliki peran dalam proses pembangunan sosial, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa fungsi seperti, meningkatkan etos kerja dan memberikan daya dorong atau semangat yang positif dalam melakukan pembangunan; memberikan jiwa dalam upaya pemberian bantuan; memberikan arah dalam pembangunan, dan menjadi pelndung terhadap penyimpangan.[8]
Spiritualitas erat kaitannya dengan pemahaman agama. Islam sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia dan memiliki umat terbanyak atau mayoritas di negeri kita ini dapat menjadi aset bermodal spiritual yang kuat manakala benar-benar memahami sumber ajarannya yaitu Al-Qur’an dan al-hadits serta mengimplementasikan secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.
Saya mencoba mengambil intisari dari Al – Qur’an surat Ar Raa’d ayat 11,
“…Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.…”
Terdapat refleksi sosiologis dari ayat tersebut yaitu 1) Konsep perubahan masyarakat (taghyir), yang menurut M. Quraisy Syihab ditafsirkan sebagai proses perubahan yang memosisikan manusia menjadi pelaku perubahan baik secara individu maupun bagian dari komunitas atau masyarakat. Berdasarkan pembentukan katanya, subjek pada ayat tersebut adalah Qaum yakni sekelompok manusia yang berkumpul dan terdiri dari berbagai jenis golongan, suku, bahasa, yang disatukan oleh ikatan tertentu dan mempunyai tujuan yang sama. Inilah yang mendasari terbentuknya faham kebangsaan Dengan kata lain, perubahan ini mengarah pada gerakan sosial yang mampu menggerakkan masyarakat (massa) menuju sebuah tata nilai ideal. 2) Konsep potensi diri. Berdasarkan tafsir Asy-Sya’rawi, Nafs (potensi diri manusia) sebagai penggerak tingkah laku manusia. Dalam nafs terdapat dua dimensi yaitu kebaikan dan keburukan. Maka dari itu kualitasnya dapat meningkat atau menurun. Nafs dalam diri manusia menjadi wadah dari berbagai potensi, menjadi penentu posisi dan peran manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, keilmuan dsb. Kualitas nafs berimplikasi pada kualitas SDM. Atas dasar itulah, salah satu aspek dalam masyarakat yang menjadi fokus utama pengembangan adalah nafs.[9]
Selain ayat tersebut, terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang kemiskinan dari persprektif Islam. Menurut riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Sekiranya salah seorang di antara kamu pergi mencari kayu bakar lalu dipikul di atas punggungnya (untuk dijual), hal ini lebih baik daripada pergi meminta-minta kepada orang lain baik ia diberi maupun ditolak” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
 “Orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak diketahui sehingga diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia tidak meminta-minta” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu).
Begitulah ajaran Islam menghargai usaha dan proses seorang manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Terkait erat dengan hal tersebut, modal spiritual juga mengorientasikan daya yang kita punya kita bukan hanya untuk kehidupan di dunia saja, melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan hakiki dari kehidupan akhirat kelak sehingga dalam menjalani usaha atau prosesnya, kita senantiasa diiringi rasa syukur atas segala rezeki yang dianugerahkan kepada kita dan bersabar atas kekurangan yang ada pada kita sambil terus-menerus berusaha memperbaikinya. Dengan begitu, niscaya jiwa pun akan merasa tentram.[10]
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemahaman yang utuh tentang ajaran Islam sebagai salah satu substansi dari modal spiritual, seharusnya dapat meningkatkan produktivitas seseorang untuk memperbaiki kondisinya sehingga idealnya, tak ada lagi orang yang secara “sukarela” menjadi miskin.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu:
1.     Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
2.     Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3.     Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat dampak yang terjadi.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Yang menjadi penyebab terjadinya kebudayaan kemiskinan melingkupi beberapa hal, diantaranya:
1.     Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2.     Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial.
3.     Marginalisasi mayoritas rakyat.
4.     Lemahnya kelembagaan yang ada.
5.     Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.

B.    Saran
Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif kami harapkan dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: Rajawali Grafiti.
Fakih, Mansour.2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: INSIST PRESS.
Rukminto, Adi Isbandi. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagi Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.
Ulum, Misbahul. 2007. Model-model Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA.
Musbikin, Imam. 2008. Mengapa Allah Membuatku Miskin? Terapi Hati Menyelamatkan Iman dan Jiwa dari Kemelut Kemiskinan. Yogyakarta : DIVA Press.
Sriharini. 2007. Model-model Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA.


[1] Kompas, 20 Maret 2010
[2] Todung Mulya Lubis
[3] Mansour Fakih
[4] Sarmiati, Pemerhati P2KP di Sumba Barat, KMW XII P2KP-3 NTT, Nina. (www.P2kp.org)

[6] Sriharini, 2007, Persprektif Normatif Filosofis dan Praktis, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin, hal. 109-127.
[7] Canda dan Furman (1999 dalam Adi 2008), hal.316.
[8] Adi, 2008, Bab 7 Aset Komunitas Dalam Pengembangan Masyarakat, hal. 317.
[9] Misbahul, 2007, Persprektif Normatif Filosofis dan Praktis, Konsep Tagyir dan Pengembangan Potensi Diri Masyarakat, hal. 1-26.
[10] Musbikin, 2008, Bab 5 Keluar Dari Kemelut Kemiskinan, hal. 203-207.

Sample text

Hargailah yang bersusah payah membuat blog ini