Tuesday, December 23, 2014

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI

Makalah Hukum Bisnis

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI

Oleh
Muhammad Kanzul Fikri Aminuddin
NIM. C02210044

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurasan Ekonomi Islam Prodi Muamalah
Surabaya
2014

A.           Latar Belakang Masalah
Kegiatan jual beli termasuk dalam kegiatan perdagangan yang merupakan perbuatan yang diizinkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang dapat dijadikan petunjuk transaksi jual beli. Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan tunai, dapat juga dilakukan dengan pembayaran yang ditangguhkan.[1] Al-Qur’an memberikan petunjuk yang berkenaan dengan perikatan jual beli tersebut berdasarkan firman Allah dalam (QS. al-Baqarah [2]: 282) yang berbunyi:
يآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”[2]
Pengertian yang terkandung dalam ayat tersebut, tidak terbatas pada utang-piutang, tetapi juga jual-beli, sewa-menyewa dan bentuk hubungan hukum keperdataan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam perikatan itu. Selain itu, untuk menghindari adanya kemungkinan sengketa di antara pihak-pihak yang berkepentingan.[3]
Jual beli mempunyai berbagai macam bentuk. Jika ditinjau dari segi penentuan harga, maka terdapat bentuk jual beli muzayadah. Jual beli muzayadah adalah jika seorang penjual menawarkan barang dagangannya dalam pasar (di hadapan para calon pembeli), kemudian para calon pembeli saling bersaing dalam menambah harga, kemudian barang dagangan itu diberikan kepada orang yang paling tinggi dalam memberikan harga.[4]
Sedangkan jual beli muzayadah dalam pandangan madzhab Syafi’i adalah penjualan yang dilakukan secara lelang. Umpamanya perkataan seseorang yang hendak membeli, “saya mau menambah.” Lalu orang lain menambah harga yang ditawarkannya, seraya berkata, “Saya mau membeli dengan harga sekian,” demikian seterusnya hingga tak ada lagi yang sanggup membayar lebih tinggi.[5]
Lelang merupakan penjualan yang terbuka untuk umum atau di muka umum dengan penawaran harga yang dilakukan secara tertulis atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang terlebih dahulu.[6]
Penjualan umum (lelang) secara resmi ini diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia sejak tahun 1908, dengan berlakunya Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 nomor 189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 No. 190) dan hingga sekarang masih berlaku.
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa jual beli muzayadah (lelang) hukumnya boleh. Tidak ada yang menentang pendapat ini kecuali an-Nakha’i yang berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya makruh. Juga pendapat Al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin al-Auza’i dan lainnya berpendapat bahwa jual beli (lelang) hukumnya makruh kecuali pada harta rampasan perang dan harta pusaka.[7]
Berkaitan dengan jual beli tersebut, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi merupakan pedoman peraturan yang digunakan oleh kejaksaan untuk mengelola barang rampasan Negara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengelola barang gratifikasi.
Pengelolaan BMN yang berasal dari barang rampasan Negara (gratifikasi) dapat dijual oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa “Penjualan Barang Rampasan Negara oleh Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Pelayanan”.[8]
Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[9]
Barang atau jenis pemberian yang ditujukan kepada Pegawai Negeri atau Pejabat Penyelenggara Negara rawan terjadi tindak pidana korupsi. Perbuatan tersebut bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh Pegawai Negeri maupun Pejabat Penyelanggara Negara. Barang atau jenis pemberian ini disebut gratifikasi.
Barang gratifikasi adalah barang yang telah ditetapkan status gratifikasinya menjadi milik Negara oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.”[10] Karenanya, barang yang telah ditetapkan KPK sebagai barang gratifikasi, akan menjadi Barang Milik Negara (BMN).
Barang gratifikasi yang telah menjadi Barang Milik Negara diserahkan oleh KPK kepada Menteri Keuangan. Dalam hal ini, Direktorat Jendral Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia (DJKN KEMENKEU RI) yang membidanginya. Penyerahan tersebut dituangkan dalam berita acara serah terima. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa “Penyerahan Barang Gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Menteri dituangkan dalam berita acara serah terima.[11]
Hal ini juga merupakan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, serah terima barang gratifikasi ini merupakan salah satu wujud kerja sama dan sinergi yang baik antara KPK dengan DJKN dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.[12]
Dalam hal ini, KPK sudah beberapa kali menyerahkan barang hasil gratifikasi tersebut kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia, antara lain:
1.             Siaran Pers Direktorat Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI tentang Direktorat Jendral Kekayaan Negara Akan Melelang Barang Gratifikasi KPK dalam Rangka Pekan Anti Korupsi 2013. (Lampiran 1.1)
2.             Siaran Pers Direktorat Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI tentang Direktorat Jendral Kekayaan Negara kembali terima 41 barang gratifikasi KPK di Tahun 2013. (Lampiran 1.2)
3.             Pengumuman Lelang Nomor: PENG-5/KN/2013 yang dilaksanakan pada hari rabu, 11 Desember 2013, pukul: 10.50 s/d 13.00 di Ruang Utama Istora Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. (Lampiran 1.3)
Lelang barang gratifikasi dilakukan oleh Direktorat Jendral Keuangan Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia (DJKN KEMENKEU RI) melalui pejabat KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa “Direktorat Jenderal Kekayaan Negara berwenang untuk melakukan pengelolaan barang gratifikasi yang telah diserahkan kepada Menteri sesuai dengan batas kewenangannya berupa penetapan status penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan penghapusan.”[13]
Pelaksanaan lelang hasil gratifikasi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
Hal-hal yang menarik perhatian masyarakat dalam peraturan tersebut antara lain, bahwa dimungkinkannya penggunaan “garansi bank” sebagai jaminan penawaran lelang, dan diperbolehkannya penawaran lelang menggunakan email dan ataupun menggunakan aplikasi internet.[14]
Begitu juga mengenai pembatalan lelang yang diatur lebih detil yaitu hanya gugatan yang terkait kepemilikan objek lelang tentang hak tanggungan saja. Mengenai pembatalan lelang tersebut, yang dapat membatalkan adalah penetapan provisional atau putusan “lembaga peradilan” secara keseluruhan.[15]
Salah satu fungsi lelang atau penjualan di muka umum adalah menjamin kepastian hukum dan guna mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat,[16] dimana seseorang atau pihak yang dinyatakan sebagai pemenang lelang akan memperoleh suatu kepastian dari pejabat lelang bahwa yang bersangkutan dijamin hak-haknya dalam kepemilikan benda yang dijadikan obyek pada pelelangan setelah yang bersangkutan dinyatakan sebagai pemenang.
Selain itu, lelang hasil gratifikasi juga merupakan wujud kontribusi terhadap penerimaan Negara. Hal ini disampaikan oleh Direktur Lelang DJKN Purnama T Sianturi yang menyampaikan kepada peserta lelang agar menawar dengan harga setinggi-tingginya. Menurutnya, tawaran yang tinggi terhadap barang lelang tersebut merupakan wujud kontribusi terhadap penerimaan Negara.[17]
Hasil bersih lelang atas lelang Barang Milik Negara/Daerah, dan barang-barang yang sesuai peraturan perundang-undangan, harus disetor ke Kas Negara/Daerah, dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendahara Penerimaan KPKNL.[18]
Pada dasarnya lelang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan lelang Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 nomor 189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 No. 190).
Akan tetapi, lelang hasil gratifikasi secara khusus baru diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
Oleh karenanya, penulis mengangkat masalah ini tak lain untuk dianalisis apakah lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia ini diperbolehkan dalam Islam. Menurut manfaat dan resiko yang mungkin terjadi, maka hal tersebut mendorong penulis untuk mengangkat tema dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang Hasil Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.”


[1] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. IV, 2012), 145.
[2] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Hati Emas, 2014), 48.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam…, 146.
[4] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah “Dalam Pandangan 4 Madzhab”, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2014), 25.
[5] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i 2, (Bandung: Pustaka setia, 2007), 52.
[6] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pasal 1 angka 1.
[7] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 25.
[8] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, pasal 15 ayat (1).
[9] Tim Permata Press, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Permata Press, 2013), 171.
[10] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011…, Pasal 1 angka 9.
[11]Ibid., Pasal 24 ayat (2).
[13] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011…, pasal 22.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Kementerian Keuangan RI, “DJKN Sukses Lelang Barang Gratifikasi KPK”, dalam http://www.kemenkeu.go.id/Berita/djkn-sukses-lelang-barang-gratifikasi-kpk, diakses pada 11 Juni 2014.
[18] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013…, pasal 74 ayat (1).

No comments:

Sample text

Hargailah yang bersusah payah membuat blog ini