Makalah Hukum Bisnis
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI
Oleh
Muhammad Kanzul Fikri Aminuddin
NIM. C02210044
Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurasan Ekonomi Islam Prodi
Muamalah
Surabaya
2014
A.
Latar Belakang Masalah
Kegiatan jual
beli termasuk dalam kegiatan perdagangan yang merupakan perbuatan yang
diizinkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang
dapat dijadikan petunjuk transaksi jual beli. Perdagangan atau jual beli dapat
dilakukan dengan tunai, dapat juga dilakukan dengan pembayaran yang
ditangguhkan.[1]
Al-Qur’an memberikan petunjuk yang berkenaan dengan perikatan jual beli tersebut
berdasarkan firman Allah dalam (QS. al-Baqarah [2]: 282) yang berbunyi:
يآأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوْهُ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman!
Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.”[2]
Pengertian yang
terkandung dalam ayat tersebut, tidak terbatas pada utang-piutang, tetapi juga
jual-beli, sewa-menyewa dan bentuk hubungan hukum keperdataan Islam lainnya.
Manfaatnya jelas, yaitu memberikan kepastian hukum kepada masing-masing pihak
yang terlibat di dalam perikatan itu. Selain itu, untuk menghindari adanya
kemungkinan sengketa di antara pihak-pihak yang berkepentingan.[3]
Jual beli
mempunyai berbagai macam bentuk. Jika ditinjau dari segi penentuan harga, maka
terdapat bentuk jual beli muzayadah. Jual beli muzayadah adalah
jika seorang penjual menawarkan barang dagangannya dalam pasar (di hadapan para
calon pembeli), kemudian para calon pembeli saling bersaing dalam menambah
harga, kemudian barang dagangan itu diberikan kepada orang yang paling tinggi
dalam memberikan harga.[4]
Sedangkan jual
beli muzayadah dalam pandangan madzhab Syafi’i adalah penjualan yang
dilakukan secara lelang. Umpamanya perkataan seseorang yang hendak membeli,
“saya mau menambah.” Lalu orang lain menambah harga yang ditawarkannya, seraya
berkata, “Saya mau membeli dengan harga sekian,” demikian seterusnya hingga tak
ada lagi yang sanggup membayar lebih tinggi.[5]
Lelang
merupakan penjualan yang terbuka untuk umum atau di muka umum dengan penawaran
harga yang dilakukan secara tertulis atau lisan yang semakin meningkat atau
menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang
terlebih dahulu.[6]
Penjualan umum
(lelang) secara resmi ini diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia sejak
tahun 1908, dengan berlakunya Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stbl.
1908 nomor 189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 No.
190) dan hingga sekarang masih berlaku.
Mayoritas ulama’
berpendapat bahwa jual beli muzayadah (lelang) hukumnya boleh. Tidak ada
yang menentang pendapat ini kecuali an-Nakha’i yang berpendapat bahwa jual beli
seperti ini hukumnya makruh. Juga pendapat Al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin
al-Auza’i dan lainnya berpendapat bahwa jual beli (lelang) hukumnya makruh
kecuali pada harta rampasan perang dan harta pusaka.[7]
Berkaitan
dengan jual beli tersebut, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) yang Berasal dari Barang Rampasan Negara
dan Barang Gratifikasi merupakan pedoman peraturan yang digunakan oleh
kejaksaan untuk mengelola barang rampasan Negara dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk mengelola barang gratifikasi.
Pengelolaan BMN
yang berasal dari barang rampasan Negara (gratifikasi) dapat dijual oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan cara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa “Penjualan Barang Rampasan
Negara oleh Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan dengan cara lelang
melalui Kantor Pelayanan”.[8]
Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas,
yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik. Hal ini telah
dijelaskan dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[9]
Barang atau
jenis pemberian yang ditujukan kepada Pegawai Negeri atau Pejabat Penyelenggara
Negara rawan terjadi tindak pidana korupsi. Perbuatan tersebut bisa
mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh Pegawai Negeri maupun
Pejabat Penyelanggara Negara. Barang atau jenis pemberian ini disebut
gratifikasi.
Barang
gratifikasi adalah barang yang telah ditetapkan status gratifikasinya menjadi
milik Negara oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.”[10]
Karenanya, barang yang telah ditetapkan KPK sebagai barang gratifikasi, akan
menjadi Barang Milik Negara (BMN).
Barang
gratifikasi yang telah menjadi Barang Milik Negara diserahkan oleh KPK kepada
Menteri Keuangan. Dalam hal ini, Direktorat Jendral Kekayaan Negara Kementerian
Keuangan Republik Indonesia (DJKN KEMENKEU RI) yang membidanginya. Penyerahan
tersebut dituangkan dalam berita acara serah terima. Sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa “Penyerahan
Barang Gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Menteri dituangkan
dalam berita acara serah terima.[11]
Hal ini juga
merupakan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, serah terima barang gratifikasi ini merupakan
salah satu wujud kerja sama dan sinergi yang baik antara KPK dengan DJKN dalam
rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.[12]
Dalam hal ini,
KPK sudah beberapa kali menyerahkan barang hasil gratifikasi tersebut kepada Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, antara lain:
1.
Siaran Pers Direktorat
Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI tentang Direktorat Jendral Kekayaan Negara Akan
Melelang Barang Gratifikasi KPK dalam Rangka Pekan Anti Korupsi 2013. (Lampiran
1.1)
2.
Siaran Pers Direktorat
Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI tentang Direktorat Jendral Kekayaan Negara
kembali terima 41 barang gratifikasi KPK di Tahun 2013. (Lampiran 1.2)
3.
Pengumuman Lelang
Nomor: PENG-5/KN/2013 yang dilaksanakan pada hari rabu, 11 Desember 2013,
pukul: 10.50 s/d 13.00 di Ruang Utama Istora Gelora Bung Karno Senayan Jakarta.
(Lampiran 1.3)
Lelang barang
gratifikasi dilakukan oleh Direktorat Jendral Keuangan Negara Kementerian
Keuangan Republik Indonesia (DJKN KEMENKEU RI) melalui pejabat KPKNL (Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22
Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa “Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara berwenang untuk melakukan pengelolaan barang gratifikasi yang
telah diserahkan kepada Menteri sesuai dengan batas kewenangannya berupa
penetapan status penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan penghapusan.”[13]
Pelaksanaan lelang
hasil gratifikasi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan Peraturan
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Lelang.
Hal-hal yang menarik perhatian masyarakat dalam peraturan
tersebut antara lain, bahwa dimungkinkannya
penggunaan “garansi bank” sebagai jaminan penawaran lelang, dan diperbolehkannya
penawaran lelang menggunakan email
dan ataupun menggunakan aplikasi internet.[14]
Begitu juga
mengenai pembatalan lelang yang diatur lebih detil yaitu hanya gugatan yang terkait
kepemilikan objek lelang tentang hak tanggungan saja. Mengenai pembatalan lelang
tersebut, yang dapat membatalkan adalah penetapan provisional atau putusan
“lembaga peradilan” secara keseluruhan.[15]
Salah satu
fungsi lelang atau penjualan di muka umum adalah menjamin kepastian hukum dan
guna mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat,[16]
dimana seseorang atau pihak yang dinyatakan sebagai pemenang lelang akan
memperoleh suatu kepastian dari pejabat lelang bahwa yang bersangkutan dijamin
hak-haknya dalam kepemilikan benda yang dijadikan obyek pada pelelangan setelah
yang bersangkutan dinyatakan sebagai pemenang.
Selain itu,
lelang hasil gratifikasi juga merupakan wujud kontribusi terhadap penerimaan
Negara. Hal ini disampaikan oleh Direktur Lelang DJKN Purnama T Sianturi yang menyampaikan
kepada peserta lelang agar menawar dengan harga setinggi-tingginya. Menurutnya,
tawaran yang tinggi terhadap barang lelang tersebut merupakan wujud kontribusi
terhadap penerimaan Negara.[17]
Hasil bersih
lelang atas lelang Barang Milik Negara/Daerah, dan barang-barang yang sesuai
peraturan perundang-undangan, harus disetor ke Kas Negara/Daerah, dilakukan
paling lama 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendahara
Penerimaan KPKNL.[18]
Pada dasarnya
lelang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan
adanya peraturan lelang Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908
nomor 189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 No. 190).
Akan tetapi,
lelang hasil gratifikasi secara khusus baru diatur oleh Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal
dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-06/KN/2013
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
Oleh karenanya,
penulis mengangkat masalah ini tak lain untuk dianalisis apakah lelang hasil
gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia ini diperbolehkan
dalam Islam. Menurut manfaat dan resiko yang mungkin terjadi, maka hal
tersebut mendorong penulis untuk mengangkat tema dengan judul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Lelang Hasil Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik
Indonesia.”
[1] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam
di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. IV, 2012), 145.
[2] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Hati Emas, 2014), 48.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam…,
146.
[4] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et
al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah “Dalam Pandangan 4 Madzhab”, (Yogyakarta:
Maktabah al-Hanif, 2014), 25.
[5] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih
Madzhab Syafi’i 2, (Bandung: Pustaka setia, 2007), 52.
[6] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pasal 1 angka 1.
[7] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et
al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 25.
[8] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi,
pasal 15 ayat (1).
[9] Tim Permata Press, Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Permata
Press, 2013), 171.
[10] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011…, Pasal 1 angka 9.
[11]Ibid., Pasal 24 ayat (2).
[12] Dwinanto, “DJKN Terima 50 Barang
Gratifikasi Dari KPK”, dalam https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/djkn-terima-50-barang-gratifikasi-dari-kpk, diakses pada 14 Mei
2014.
[13] Menteri Keuangan, Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011…, pasal 22.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Kementerian Keuangan
RI, “DJKN Sukses Lelang Barang Gratifikasi KPK”, dalam http://www.kemenkeu.go.id/Berita/djkn-sukses-lelang-barang-gratifikasi-kpk, diakses pada 11
Juni 2014.
[18] Menteri Keuangan,
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013…, pasal 74
ayat (1).
No comments:
Post a Comment