Tuesday, December 16, 2014

Pembagian Maslahah dalam Maqashid Syaria’ah

Makalah Hukum Bisnis
Pembagian Maslahah dalam Maqashid Syaria’ah

Maslahah secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya:
  1. Pertama, mashalih al-mu’tabiroh. Pada pointer ini syari’at menjelaskan secara langsung (tekstual) melalui nash atau ijmā’ atau dengan hukum yang disepakati oleh nash dan ijmā’ diantaranya -seperti pendapat Al-Ghazali- qiyas. Elemen yang membentuk maslahat pada marhalah ini seperti menjaga agama (khifdzu al-din) yaitu perintah untuk jihad dan memerangi orang-orang yang murtad, menjaga jiwa (khifdzu an-nafs) yaitu dengan memberikan hukuman qishos terhadap orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, menjaga akal (khifdzu al-‘aql) yaitu menerapkan sanksi atas orang yang minum khamr, menjaga keturunan (khifdzu an-nasl/al-‘irdh) yaitu menghukum pelaku yang berbuat jina dan menjaga harta (khifdzu al-mal) yaitu mengharamkan pencurian dan memotong tangan bagi orang yang melakukan hal itu. Ini semua dikenal dengan istilah ushūlul khomsah atau sifatnya dhoruriyah.
  2. Kedua, mashalihul mulghōh. Untuk maslahat yang berbenturan dengan nash qoth’i para ulama sepakat untuk tidak menggunakan dalam kehidupan karena sudah jelas ketidakabsahannya. Seperti persamaan (equality) perempuan dalam hak waris ini kontradiktif dengan nash Al-Qur’an (يوصيكم اللّه في أولادكم للذّكرمثل حظّ الأنثيين) surat An-Nissa:11. Atau orang yang menambah hartanya dengan cara riba, karena Allah sudah menjelaskan (وأحل اللّه البيع وحرّم الربي).
  3. Ketiga, mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha. Walaupun Al-Qur’an memuat kandungan hukum/konstitusi, tetapi tidak secara detail mengulas aspek juz’iyyat. Tidak adanya nash khusus yang memerintahkan ataupun melarangnya menjadi alasan yang memungkinkan seseorang untuk menentukan hukum suatu permasalahan yang berkembang pada saat sekarang ini dengan tetap berpegang pada prinsip awal yaitu memberikan manfaat dan menghilangkan madharat. Seperti pengumpulan mushaf Al-Qur’an dan menyatukannya pada masa Abu Bakar serta dibukukan menjadi satu oleh pada zaman Utsman bin Affan sebagai refensi utama.

Aksiologi dan Maqashid Syari’ah


Makalah Hukum Bisnis
Aksiologi dan Maqashid Syari’ah

A.    Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1.      Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2.      Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3.      Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.
Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1.      Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3.      Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.

B.     Maqashid Syariah
Maqashid Syari'ah (tujuan Hukum Islam) menurut al-Syatibi adalah sebagai berikut :
هذه الشر يعة وضعت لتحقيق مقا صد الشا رع فى قيا م مصا لحهم في الدين والدنيا معا...
Artinya: Sesungguhnya syari'at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan alhirat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kandungan maqashid syari'ah adalah kemaslahatan umat manusia. Muhammad Abu Zahra dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Kemaslahatan melalui analisis maqashid syari'ah tidak hanya dilihat dari segi teknis saja, akan tetapi, dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung filosofis dari hukum-hukum yang disyari'atkan tuhan terhadap manusia. 
Maqashid syariah itu merupakan hasil dari penerapan syariat secara keseluruhan. Salah satu pembahasan pokoknya adalah dengan melihat Ruh Tasyri, Hikmah, ‘Illat, Qiyas, Masholihul ‘Ibad, Jalbul Masholih wa Daf’ul Mafasid dan Tahqiqul Manath dengan mempertimbangkan Dhoruriatul Khomsah yang mencakup didalamnya Din, Nafs, Aql, Nasl dan Maal (Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta).

Periodesasi Sejarah Islam dalam Fiqh dan Periode Sejarah Islam dalam Siyasah


Makalah Hukum Bisnis
Periodesasi Sejarah Islam dalam Fiqh dan Periode Sejarah Islam dalam Siyasah

A.    Periodesasi Sejarah Islam dalam Fiqh tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Ilmu Fiqh sebagai hukum, yakni berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat dan Negara, maka akar hukum yang amat erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu peranan Nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan, khususnya selama periode sesudah Hijrah ke Madinah, yaitu sebagai pemimpin masyarakat dan sebagai hakim pemutus perkara. Firman Allah Q. S. Al-Nisa’ 65: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
B.     Periode Sejarah Islam dalam Siyasah mempunyai unsur pemikiran keislaman yakni Ilmu Kalam. Ilmu Kalam tumbuh beberapa abad setelah wafatnya Nabi. Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skeisme dalam Islam. Yang menjadi dasar terbentuknya Ilmu Kalam tersebut adalah peristiwa terbunuhnya Khalifah ketiga “Ustman ibn Affan” akibat peristiwa yang menyedihkan dalam Sejarah Islam dinamakan al-Fitnah al-Kubro, sehingga hal ini merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat islam khususnya dibidang Politik.

Perbedaan Asbabul Hukmi dan Illatul Hukmi


Makalah Hukum Bisnis
Perbedaan Asbabul Hukmi dan Illatul Hukmi

A.    Asbabul hukmi : Sesuatu  yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum. (Ushul Fiqih, Jilid I)
Contohnya : Bahwa di dalam al-Qur`an diperintahkan untuk mengerjakan shalat Zhuhur setelah tergelincirnya mata hari. Allah berfirman:
أقــم الـــصلوة لــدلـوك الشـمس. (الإسراء/١٧:٧٨)
Artinya : Dirikanlah shalat (Zhuhur) ketika tergelincir matahari. (QS. Al-Isrâ`/17:78)
Di sini, hubungan antara perintah mengerjakan shalat Zhuhur dengan tergelincirnya  matahari   tidak   dapat   diketahui  dan sulit  dipahami oleh akal. Oleh karena itu, hal ini tidaklah  dinamai dengan illat, tetapi disebut dengan sebab. Tergelincirnya matahari yang menjadi sebab masuknya waktu dzuhur itu di samping kita tidak mengetahui hubungan keserasiannya, kita tidak mungkin berbuat untuk menggelincirkan matahari untuk segera datangnya kewajiban itu.
B.     Illatul hukmi : Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2 menyebutkan ‘illat (Arab, al-‘illah) sebagai penyebab berubahnya sesuatu. Didalam ensiklopedi ini ditegaskan bahwa ‘illat dalam kajian ushul fiqih, merupakan permasalahan pokok dalam pembahasan kias (qiyas).
Contohnya: Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Allah berfirman:
 ... فمن كان منكم مريضا أو على سـفـر.... (البقرة/٢:١٨٢)   
… Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (boleh tidak berpuasa) maka hendaklah ia perhitungkan pada hari-hari yang lainnya… (QS. Al-Baqarah/2:182)
Berdasarkan ayat di atas berlaku ketentuan hukum bolehnya orang sakit tidak berpuasa. Namun ketetapan hukum syara dibolehkannya orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dijadikan sebagai ‘illat yang mendorong ketetapan hukum syara tersebut, yaitu untuk menghilangkan kesulitan atau apa yang disebut dengan istilah masyaqqat.
Perbedaan Antara Sabab dan ‘Illat di kalangan para ulama terdapat ikhtilaf dalam membedakan antara sabab dan ‘illat.
A.       Pendapat pertama mengatakan bahwa sesuatu yang dijadikan sebagai tanda munculnya dan hilangnya suatu hukum syariat dimana antara sesuatu dan hukum syariat tersebut terdapat kesesuaian yang cocok dan jelas yang dapat diketahui dan diterima oleh akal pikiran manusia, maka hal ini disebut sabab dan ‘illat. Sebagai contoh, berpergian (safar) menjadi sabab atau ‘illat bolehnya berbuka dan memabukkan menjadi sabab atau ‘illat keharaman arak. Dalam contoh tersebut akal pikiran manusia dapat menemukan satu titik kesesuaian antara hukum syariat dan sabab atau ‘illat. Seperti dalam pembolehan berbuka puasa ketika safar disebabkan adanya masyaqqah, sebagaimana keharaman arak karena dapat menghilangkan akal manusia.
B.       Pendapat kedua mengatakan bahwa kesesuaian yang jelas antara sabab dan hukum syariat, yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia disebut ‘illat. Sedangkan yang tidak dapat diketahui oleh akal manusia disebut sabab. Dapat dikatakan bahwasanya sabab bukan ‘illat, sebaliknya illat juga bukan sabab.

Sample text

Hargailah yang bersusah payah membuat blog ini