Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia
No: 07/DSN-MUI/IV/2000,
tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Menimbang :
a.
Bahwa
dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah
(LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara
mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak
kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan
usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
b.
Bahwa
agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu
menetapkan fatwa tentang mudharabah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. Al-Nisa’ (4) : 29:
يا
أيها الذين أمنوا
لا تأكلوا أموالكم
بينكم بالباطل إلا
أن تكون تجارة
عن تراض منكم
…
Hai orang-orang yang
beriman ! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan
jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela
diantaramu …….
2. Firman Allah QS. Al-Ma’idah (5): 1:
يا
أيها الذين أمنوا
أوفوا بالعقود ……
Hai orang yang beriman! Penuhilah
akad-akad itu....
3. Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 283:
…. فإن أمن
بعضكم بعضا فليؤد
الذى اؤتمن أمانته
وليتق الله ربه
….
Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Tuhannya …….
4. Hadis Nabi riwayat al-Thabrani:
كان
سيدنا العباس بن
عبد المطلب إذا
دفع المال مضاربة
إشترط على صاحبه
أن لا يسلك
به بحرا ولا
ينـزل به واديا
ولا يشتري به
دابة ذات كبد
رطبة فإن فعل
ذلك ضمن فبلغ
شرطه رسول الله
صلى الله عليه
واله وسلم فأجازه
(رواه
الطبراني في الأوسط
عن ابن عباس)
Abbas bin Abdul Muthallib
jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya
agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar ia (mudharib) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya. (HR Thabrani dari Ibnu Abbas).
5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
أن
رسـول الله صلى
الله عليه وسلم
قال : ثلاث فيهن
البركة : البيع إلى
أجـل والمقارضة وخلط
البر بالشعير للبيت
لا للبيع
) رواه ابن ماجه عن صهيب)
) رواه ابن ماجه عن صهيب)
Bahwa Rasulullah saw
bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).
6. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin
Auf:
الصلح جائز
بين المسلمين إلا
صلحا حرم حلالا
أو أحل حراما
والمسلمون على شروطهم إلا
شرطاحرم حلالا أو
أحل حراما
Antara kaum Muslimin boleh
mengadakan perdamaian, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram, dan setiap muslim terikat pada syaratnya (perjanjian
yang dibuatnya) masing-masing kecuali syarat mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram. Hadits riwayat Turmudzi dan hadits ini
dishahihkannya.
7. Hadis Nabi:
لا
ضرر ولا ضرار
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
boleh pula membahayakan orang lain.
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat
menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan
tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai
ijma’ (Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
9. Kaidah fiqh:
الأصل
في المعاملات الإجابة
إلا أن يدل
دليل على تحريمها
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Memperhatikan
:
Pendapat
peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Sabtu, tanggal 29
Dzulhijjah 1420H/ 4 April 2000.
Dewan Syari’ah Nasional
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
Pertama : Ketentuan Pembiayaan :
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan
yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul
maal (pemilik dana) menbiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha) sedangkan
pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian
dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharab boleh melakukan berbagai macam
usaha yang telah disepakati bersama dan seusai dengan syari’ah; dan LKS tidak
ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan
dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua
kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan
yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7.
Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau
pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam
akad.
8.
Kriteria
pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh
LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9.
Biaya
operasional dibebankan kepada mudharib.
10.
Dalam
hal penyandang dana (LKS ) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran
terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
Kedua
: Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1.
Penyedia
dana (shahibul mal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Penawaran
dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.
Penerimaan
dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.
Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
3.
Modal
adalah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.
Modal
harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.
Modal
dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.
Modal
tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara
bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4.
Keuntungan
mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.
Harus
diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu
pihak.
b.
Bagian
keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.
Penyedia
dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja,
kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.
5.
Kegiatan
usaha oleh pengelola (mudharib) sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh
pneyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif
mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk
melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit
tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan
mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengenlola tidak boleh menyalahi hukum
syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga : Beberapa ketentuan hukum pembiayaan:
1.
Mudharabah
boleh dibatasi pada periode tertentu.
2.
Kontrak
tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang
belum tentu terjadi.
3.
Pada
dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini
bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4.
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
|
Sekretaris,
|
Prof. KH. Ali Yafie
|
Drs.H. A. Nazri Adlani
|
No comments:
Post a Comment