Tuesday, December 16, 2014

Teologi Pemikiran al -Asy’ari “Makalah Ilmu Kalam”


Makalah Hukum Bisnis
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Akar masalah politik itu bermula ketika pada tahun 632 M Nabi Muhammad Saw wafat, tanpa meninggalkan wasiat atau arahan tentang figure atau siapa pengganti beliau. Di samping itu, umat islam seakan-akan tidak siap secara politis ditinggalkan oleh Nabi. Masyarakat di Madinah sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala Negara yang baru lahir itu, sehingga pemakaman Nabi menjadi masalah kedua. Mulai sejak itulah, muncul persoalan baru yang sekaligus mendesak untuk dipikirkan umat islam yaitu masalah khilafah.
Khilaf dan bantahan yang pada mulanya hanya berkaitan dengan masalah politik, selanjutnya menyentuh masalah akidah, bahkan kemudian masalah bagaimana hukumnya orang yang berdosa besar. Apakah masih muslim atau sudah menjadi kafir?
Demikianlah sekilas tentang persoalan politik yang terjadi, akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi yang lebih rumit, yakni apa tanda atau cirri keislaman dan kekafiran, sehingga dapat ditentukan siapa yang kafir dan bukan, dan lebih lanjut, apakah orang yang sudah dianggap kafir itu boleh dibnuh (dihalalkan darahnya) atau terpelihara, dan seterusnya.
Ketika mencoba menjawab berbagai persoalan di atas, timbullah dua aliran klasik dalam teologi islam, yaitu : Khawarij dan Syi’ah. Kemudian muncul aliran Murji’ah, Qadariyah dan akhirnya Aliran Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah itu mendapat  reaksi dari aliran yang muncul kemudian yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari (w. 935 M), dan dikenal sebagai aliran tradisional. Al-asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang pengikut, bahkan termasuk seorang tokoh Mu’tazilah. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan membentuk ajaran baru yang selanjutnya terkenal dengan nama teologi Asy’ariyah.
Asy’ariyah umumnya, memusatkan konstruksi pemikiran mereka kepada “kekuasaan Tuhan yang mutlak dan tidak terbatas”. Bagi mereka, Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak, dalam arti bahwa segala sesuatu yang akan terjadi bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan, dan semuanya hanya bisa terjadi bila Tuhan menghendakinya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ikhtisar riwayat hidup Abu Hasan Al-Asy’ari?
2.      Bagaimana prinsip dasar teologi Al-Asy’ari?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ikhtisar Riwayat Hidup Abu Hasan Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/ 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibnu Asakir, ayah Al-asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’Ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (wafat 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (wafat 321 H/932 M. Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Setelah itu banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan oleh beliau.
Ada banyak pendapat mengenai alasan kenapa al-Asy’ari keluar dari mazhab Mu’tazilah. Salah satunya adalah pendapat as-Syahrastani mengatakan, hal itu dikarenakan debat al-Asy’ari dengan gurunya Abu Ali Jubba’i. Adapun alasan lainnya, dikarenakan ketidakmampuan gurunya dalam menjawab kritikan-kritikannya. Seperti dikatakan bahwa: “Mu’tazilah dan Salafi di sepanjang masa selalu berbeda pendapat mengenai sifat Allah. Salafi yang terkenal dengan Sifatiyah-nya, tidak menggunakan metode kalam (teologi) dalam menolak pendapat Mu’tazilah. Mereka cukup dengan meyakini dari perkataannya saja dan berpegang dengan zahir Al-Qur’an dan riwayat. Sampai terjadilah perdebatan antara Abul Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya Abu Ali Jubba’i tentang masalah husn wa qubh (kebaikan dan keburukan). Al-Asy’ari meyakinkan pendapatnya di hadapan sang guru. Dan pada akhirnya, al-Asy’ari memisahkan diri darinya. Ia menggunakan metode salaf dan juga metode kalam untuk mempertahankan akidahnya.”
Henry Curbon berpendapat bahwa ada dua penyebab perubahan arah pandang al-Asy’ari ini, yaitu :
1.   Cara berpikir Mu’tazilah yang berlandaskan akal murni ini berujung kepada ketidakbermaknaan agama. Hal ini dikarenakan, akal tanpa batasan apapun menjadi pengganti iman. Di saat akal lebih luas cakupannya dari musalamat din (hal-hal yang sudah sangat jelas dan disepakati oleh semua mazhab dan agama), lalu apa faidahnya iman kepada Tuhan dan sesuatu yang turun dari-Nya?
2.   Menurut pandangan Al-Qur’an, iman kepada gaib termasuk prinsip penting agama itu sendiri. Iman kepada gaib lebih luas cakupannya dari pada argumen-argumen akal. Oleh karenanya, kepercayaan ini tidak sesuai dengan akal sebagai argumen mutlak dalam wewenang agama terkait prinsip iman kepada gaib. Tetapi dalam mazhab Asy’ari, di samping cakupan argumen yang harus digunakan untuk akidah dokmatis serta usuluddin, argumen akal juga mempunyai kedudukan penting. Berbeda dengan aliran penganut zahir nas, mereka tidak menganggap bid’ah maupun ateis dalam penggunaan dalil akal, meskipun akal tidak dikenal sebagai hujah mutlak bila dihadapkan pada iman serta musalamat din.
Tetapi tidak satupun dari dua cara berpikir Mu’tazilah tersebut yang benar. Karena mereka mengedepankan akal daripada penampakan maupun fenomena agama, bukannya musalamat din. Mereka juga menganggap bahwa akal sebagai hujjah lazim (bukti yang penting), bukannya hujjah kofi (bukti yang cukup). Yang paling utama dari mazhab Mu’tazilah ini adalah ashlu husn wa qubh akli (Prinsip kebaikan dan keburukan secara akal). Pernyataan mereka dalam masalah ini adalah ijabe juz’i (penegasan secara parsial), bukannya ijabe kuli (penegasan secara umum).
Berkaitan dengan penyebab kedua di atas, Curbon masih rancu membedakan antara prinsip iman kepada gaib dan pengetahuan hakiki. Sesuatu yang harus diimani adalah waqiiyat gaib (realitas alam gaib). Sebagian dari realitas, dapat dibuktikan melalui akal secara murni. Namun sebagian lagi dibuktikan melalui syari’ah, dan ini lebih luas cakupannya daripada akal. Pengetahuan hakiki adalah gaib. Oleh karenanya, kemampuan akal biasa untuk memahami pengetahuan tauhid yang tinggi tersebut adalah terbatas. Untuk itu, masih dibutuhkan wahyu sebagai “akal unggul” atau “akal superior” untuk dapat memahaminya.
Oleh sebab itu, keyakinan bahwa akal mampu secara independen untuk memahami lautan pengetahuan, meskipun dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya, tidak berarti kontradiksi dengan kebutuhan kita akan hidayah wahyu. Tidak mudahnya menangkap realita yang sudah sangat jelas ini membuat takjub para peneliti yang berpikir realistis, seperti Curbon.
3.   Alasan lain yang sempat diperbincangkan mengenai masalah ini, adalah al-Asy’ari bangkit untuk memperbaiki akidah Ahlul Hadis dan menolak pendapat Mu’tazilah yang pada waktu itu menjadi pola pikir mayoritas kaum Muslim. Akidah Mu’tazilah telah menyebar dalam pola pikir masyarakat Muslim pada zaman itu. Di samping itu, akidah ini juga sudah bercampur dengan pemikiran sesat dan kesyirikan, seperti keyakinan tajsim (akidah yang meyakini Tuhan itu seperti benda/materi), penyamaan Allah dengan sesuatu dan faham Jabariyah (determinisme). Menurut al-Asy’ari, perbaikan akidah tersebut tidak mungkin dilakukan, kecuali dengan jalan secara terang-terangan keluar dari mazhab Mu’tazilah dan secara terang-terangan pula setia kepada akidah Ahlul Hadis.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa al-Asy’ari sebenarnya tidak menentang akidah Mu’tazilah dan metode pemikiran mereka. Keluarnya ia dari mazhab ini semata-mata hanyalah sebuah penerapan ilmu kalam dan bertujuan demi kemaslahatan umat Islam. Ia berharap dengan cara inilah, kiranya ia bisa membebaskan mereka dari bahaya tajsim dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu). Tetapi hal ini tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang ada, karena :
1.   Pertama, mujasemeh (kelompok yang berkeyakinan bahwa Tuhan berjasad) dan mutasyabeh (kelompok yang berkeyakinan bahwa Tuhan mirip dengan sesuatu) adalah dua kelompok Ahlul Hadis yang sering disebut juga dengan Husywiyah (kelompok tradisional). Akidah kelompok ini tidak diterima oleh kelompok-kelompok Ahlul Hadis yang lainnya. Ibnu Khuzaimah berkata: “Sesungguhnya kami menyifati Allah seperti apa yang Allah sifati terhadap diri-Nya sendiri. Dan kami mengakui dengan lisan kami. Kami membenarkankannya dengan sepenuh hati kami tanpa harus kami menyerupakan dengan salah satu makhluk-Nya. Karena sesungguhnya, Dia Maha Mulia dan Agung dari semua penyerupaan kita terhadap para makhluk-Nya.”
Kami menyifati Allah sebagaimana Dia menyifati diri-Nya sendiri. Dan kami juga mengimani serta mengucapkannya dengan lisan, meski kami tidak menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
2.   Kedua, hasil penelitian dari karya-karya al-Asy’ari yang ada menunjukkan bahwa ia secara hakikat menentang akidah dan prinsip Mu’tazilah. Dan penentangan ini tidak secara zahir saja.
3. Mengenai hal ini, Para penulis buku sejarah filsafat Islam mengatakan bahwa: “Kemungkinan alasan yang lain adalah adanya perpecahan dan ketidakbersatuan umat Islam. Dan hal ini dapat menimbulkan bahaya sehingga dapat menghancurkan agama itu sendiri. Di satu sisi al-Asy’ari adalah seorang yang saleh dan berbudi luhur. Ia tidak rela jikalau agama Allah dan sunah Rasul-Nya menjadi korban akidah Mu’tazilah yang hanya berdasarkan akal murni saja. Oleh karenanya, ia terpaksa menunjukkan akidahnya bahwa Islam yang sahih tidak seperti itu. Ia juga tidak rela kalau agama Allah menjadi korban Ahlul Hadis dan penyebar faham tasybih. Karena mereka hanya melihat zahir nas saja, bukan memandang ruh dan hakikat sebenarnya. Hal ini membuat agama menjadi terkesan kaku, karena tidak menerima akal, juga tidak memuaskan rasa keagamaan itu sendiri. Al-Asy’ari memilih metode keduanya, yaitu metode tengah-tengah antara akal dan nas. Ia berkeyakinan bahwa metode itulah yang dapat membebaskan Islam dan kam Muslimin”.

B.     Prinsip Dasar Teologi Al-Asy’ari
Al-Asy’ari memulai pembicaraan tentang pokok ‘aqidah yaitu wujud Allah. Untuk itu, kata al-Syahrastani, al-Asyari lebih dulu menegaskan hudust al-insan, atau manusia itu selalu berubah. Selagi dalam perut ibunya, berubah dari nutfah, menjadi ‘alaqah, selanjutnya menjadi mudhghah, dan akhirnya janin. Dan setelah lahir ke dunia, dari bayi berkembang menjadi anak-anak, terus menjadi remaja, kemudian dewasa, sampai tua dan akhirnya meninggal. Perubahan karena perbuatan atau ciptaan manusia itu sendiri. Bukan pula oleh orang tua atau ibu bapaknya. Semuanya itu bermula dari pelaku yang qadim serta kuasa dan mampu melakukannya. Itulah Dia Allah yang maha Esa. (Musa, op.cit., 221, al-Syahrastani 12). Jadi Allah itu wajib al-wujud.
Lebih jauh, al-Asy’ari menjelaskan bahwa tak mungkin manusia itu yang mengubah-ubah dirinya dari nutfah ke ‘alaqah dan mudhghah, berdaging, bertulang dan berdarah, dari kanak-kanak menjadi remaja, atau dari tua menjadi muda kembali. Semua kejadian atau proses ini kembali kepada mudabbir, pengatur, pelaku dan pelaksana. Mustahil terjadi yang hadist tanpa adanya muhdist. Seperti halnya ada kain tanpa penenun, adanya bangunan tanpa pembangun, atau tulisan tanpa ada penulisnya.
Selain itu menurut al-Asy’ari (1952 : 37), semua perbuatan (aksab) manusia adalah makhlukatau diciptakan oleh Allah. Firman Allah : “Dan Allah lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu” (Q.S. al Shafat), menunjukkan yang demikian. Perbuatanmu, artinya kerja atau perbuatan itu sendiri. Bukan hasil kerja atau hasil perbuatan itu, seperti patung hasil pahatan tukang pahat. Kerja mereka memahat itu juga Allah yang menciptakan. Adapun batu kayu yang menjadi bahan pembuatan patung itu, jelas ciptaan Allah, bukan hasil dari tukang tersebut.
Tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang melakukan serta tidak ada yang menentukan suatu perbuatan, termasuk kasb manusia, selain dari Allah, tegas al-Asy’ari. Selanjutnya beliau mengatakan : “ Semua perbuatan mestilah ada ada yang membuatnya. Tidak ada suatu perbuatan yang tidak ada pelakunya. Pelaku atau fa’il itu tidak lain hanyalah Allah. Demikian juga, suatu perbuatan mesti ada muktasib yaktasibuh. Dan karena perbuatan atau fa’il itu adalah kasb, maka muktasib-nya tidak lain adalah Allah.
Secara ringkas, pendapat al-Asya’ri dapat disimpulkan sebagai berikut : Manusia dalam pandangan al-Asy’ari mempunyai kehendak dan daya yang terdapat dalam al-kasb. Sedangkan al-kasb itu sendiri diciptakan Tuhan. Dengan demkian manusia hampir-hampir tidak mempunyai peranan dalam mewujudkan perbuatannya, kalau tidak akan dikatakan tidak mempunyai peran sama sekali. Atas dasar itu pula agaknya ia memandang perbuatan yang terwujud sebagai perbuatan Tuhan dalam arti yang sebenarnya, sedangkan perbuatan manusia dalam arti yang majazi. (Nukman Abbas, 2006 : 7)
Namun pada pendapatnya yang demikian, ia meletakkan taklif (tanggung jawab manusia atas perbuatannya). Pendapat al-Asy’ari tersebut sukar untuk diterima sebagian orang, karena adanya pertanggung jawaban manusia pada perbuatan yang bukan perbuatan sebenarnya.
Di samping itu, dengan cara atau ungkapan lain al-Asy’ari menegaskan, tidak ada pengaruh (efektivitas) qudrah manusia terhadap perbuatannya yang terwujud dengan qudrah Allah itu. Memang sangatlah susah dan musykil untuk membedakan ungkapan yang mengatakan “adanya qudrah tetapi tidak efektif” dengan “tidak adanya qudrah”. Karena ini termasuk suatu yang ada tetapi tidak efektif keberadaannya, dan tidak berpengaruh sama sekali. Suatu hal yang memang sangat sulit untuk dipahami. Karena itulah timbul ungkapan “lebih rumit dari kasb-nya al-Asy’ari”. (Musthafa Shabri, 1352 H : 49)
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
Jadi, pendapat al-Asy’ari tentang masalah akal dan wahyu, serta kriteria baik dan buruk. Wahyu itu lebih diutamakan dari pada akal. Namun tidak mengurangi fungsinya untuk merasionalkan agama, serta batasan untuk menentukan baik dan buruk. Karena wahyu bersifat subjektif, artinya sesuai dengan realita yang ada.
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang qadim dan diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, al-Asy’ari mengatakan bahwa al-qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Tentang kemakhlukan al-Qur’an. Bila diungkapkan al-Qur’an merupakan hadist, sedangkan makna yang terkandung di dalamnya merupakan qadim.
Dan juga masalah melihat Allah. Bahwa Allah dapat dilihat dengan syarat, pikiran Allah tidak terdapat tujuan tertentu yang membatasi aktifitas-Nya. Allah mungkin menuntun bertanggung jawab, karena kehendak Allah tidak terbatasi oleh konsiderasi teologis.
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berdosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
Dapat disimpulkan dari uraian diatas, bahwa prinsip dasar teologi al-Asy’ari melingkupi :
1.      Tentang Allah dan sifat-sifat Allah.
2.      Masalah kehendak bebas.
3.      Masalah akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk.
4.      Tentang kemakhlukan al-Qur’an.
5.      Masalah melihat Allah.
6.      Keadilan.
7.      Kedudukan Orang Berdosa.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Asy’ari adalah aliaran kalam ortodoks atau menggunakan metode dialektika yang menyumbangkan aliran kalam Mu’tazilah, hampir sama dengan aliran Zahiriyah. Al-Asy’ari berada diantara aliran Mu’tazilah dan kalam ultra ortodoks seperti Zahiriyah, Mujassimah (kaum anthropomorfis), Fuqaha’ yang menganggap dogma sebagai bid’ah.
Untuk itu Prinsip dasar teologi al-Asy’ari melingkupi :
1.      Tentang Allah dan sifat-sifat Allah.
2.      Masalah kehendak bebas.
3.      Masalah akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk.
4.      Tentang kemakhlukan al-Qur’an.
5.      Masalah melihat Allah.
6.      Keadilan.
7.      Kedudukan Orang Berdosa.

B.     Saran
Kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak dalam proses penyelesaian makalah yang kami buat, baik dari para pembaca umumnya dan dosen pengampu khususnya. Karena, mungkin literatur yang telah kami jadikan pedoman masih kurang memenuhi standar atau boleh dibilang kurang memuaskan dalam pembuatan makalah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, Abu al-Hasan. 1952. Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala ahl al-Zaig wa al-Bida’. Beirut : al-Maktabah al-Katsulikiyyah.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2010. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.
Shabri, Musthafa. 1352 H. Mauqif al-Basyar Tahta Sulthan al-Qadar. Kairo : al-Maktabah al-Salafiyyah wa Maktabatuha.

No comments:

Sample text

Hargailah yang bersusah payah membuat blog ini