Makalah Hukum Bisnis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akar
masalah politik itu bermula ketika pada tahun 632 M Nabi Muhammad Saw wafat,
tanpa meninggalkan wasiat atau arahan tentang figure atau siapa pengganti
beliau. Di samping itu, umat islam seakan-akan tidak siap secara politis
ditinggalkan oleh Nabi. Masyarakat di Madinah sibuk memikirkan siapa pengganti
Nabi sebagai kepala Negara yang baru lahir itu, sehingga pemakaman Nabi menjadi
masalah kedua. Mulai sejak itulah, muncul persoalan baru yang sekaligus
mendesak untuk dipikirkan umat islam yaitu masalah khilafah.
Khilaf
dan bantahan yang pada mulanya hanya berkaitan dengan masalah politik,
selanjutnya menyentuh masalah akidah, bahkan kemudian masalah bagaimana
hukumnya orang yang berdosa besar. Apakah masih muslim atau sudah menjadi
kafir?
Demikianlah
sekilas tentang persoalan politik yang terjadi, akhirnya membawa kepada
timbulnya persoalan-persoalan teologi yang lebih rumit, yakni apa tanda atau
cirri keislaman dan kekafiran, sehingga dapat ditentukan siapa yang kafir dan
bukan, dan lebih lanjut, apakah orang yang sudah dianggap kafir itu boleh
dibnuh (dihalalkan darahnya) atau terpelihara, dan seterusnya.
Ketika
mencoba menjawab berbagai persoalan di atas, timbullah dua aliran klasik dalam
teologi islam, yaitu : Khawarij dan Syi’ah. Kemudian muncul aliran Murji’ah,
Qadariyah dan akhirnya Aliran Mu’tazilah.
Aliran
Mu’tazilah itu mendapat reaksi dari
aliran yang muncul kemudian yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari (w. 935
M), dan dikenal sebagai aliran tradisional. Al-asy’ari sendiri pada mulanya
adalah seorang pengikut, bahkan termasuk seorang tokoh Mu’tazilah. Akan tetapi
kemudian ia meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan membentuk ajaran baru yang
selanjutnya terkenal dengan nama teologi Asy’ariyah.
Asy’ariyah
umumnya, memusatkan konstruksi pemikiran mereka kepada “kekuasaan Tuhan yang
mutlak dan tidak terbatas”. Bagi mereka, Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan
mutlak, dalam arti bahwa segala sesuatu yang akan terjadi bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan, dan semuanya hanya bisa terjadi bila Tuhan
menghendakinya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana ikhtisar riwayat hidup Abu Hasan Al-Asy’ari?
2. Bagaimana prinsip dasar teologi Al-Asy’ari?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ikhtisar Riwayat Hidup Abu Hasan Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il
bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Musa
Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260
H/ 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan
wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut
Ibnu Asakir, ayah Al-asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli
hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat
kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik
Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’Ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang
tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (wafat 303 H/915 M), ayah
kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (wafat 321 H/932 M. Berkat didikan ayah tirinya
itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan
Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Setelah itu
banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari
menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara
tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut
Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah
adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW
sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan Ramadhan. Dalam
tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham
Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan oleh beliau.
Ada
banyak pendapat mengenai alasan kenapa al-Asy’ari keluar dari mazhab
Mu’tazilah. Salah satunya adalah pendapat as-Syahrastani mengatakan, hal itu
dikarenakan debat al-Asy’ari dengan gurunya Abu Ali Jubba’i. Adapun alasan
lainnya, dikarenakan ketidakmampuan gurunya dalam menjawab
kritikan-kritikannya. Seperti dikatakan bahwa: “Mu’tazilah dan Salafi di
sepanjang masa selalu berbeda pendapat mengenai sifat Allah. Salafi yang
terkenal dengan Sifatiyah-nya, tidak menggunakan metode kalam
(teologi) dalam menolak pendapat Mu’tazilah. Mereka cukup dengan meyakini dari
perkataannya saja dan berpegang dengan zahir Al-Qur’an dan riwayat. Sampai
terjadilah perdebatan antara Abul Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya Abu Ali
Jubba’i tentang masalah husn wa qubh (kebaikan
dan keburukan). Al-Asy’ari meyakinkan pendapatnya di hadapan sang guru. Dan
pada akhirnya, al-Asy’ari memisahkan diri darinya. Ia menggunakan metode salaf
dan juga metode kalam untuk mempertahankan akidahnya.”
Henry Curbon berpendapat bahwa ada dua penyebab perubahan
arah pandang al-Asy’ari ini, yaitu :
1. Cara berpikir
Mu’tazilah yang berlandaskan akal murni ini berujung kepada ketidakbermaknaan
agama. Hal ini dikarenakan, akal tanpa batasan apapun menjadi pengganti iman.
Di saat akal lebih luas cakupannya dari musalamat din (hal-hal yang sudah sangat jelas dan disepakati oleh
semua mazhab dan agama), lalu apa faidahnya iman kepada Tuhan dan sesuatu yang
turun dari-Nya?
2. Menurut
pandangan Al-Qur’an, iman kepada gaib termasuk prinsip penting agama itu
sendiri. Iman kepada gaib lebih luas cakupannya dari pada argumen-argumen akal.
Oleh karenanya, kepercayaan ini tidak sesuai dengan akal sebagai argumen mutlak
dalam wewenang agama terkait prinsip iman kepada gaib. Tetapi dalam mazhab
Asy’ari, di samping cakupan argumen yang harus digunakan untuk akidah dokmatis
serta usuluddin, argumen akal juga mempunyai kedudukan penting.
Berbeda dengan aliran penganut zahir nas, mereka tidak menganggap bid’ah maupun
ateis dalam penggunaan dalil akal, meskipun akal tidak dikenal sebagai hujah
mutlak bila dihadapkan pada iman serta musalamat din.
Tetapi tidak satupun dari dua cara berpikir Mu’tazilah
tersebut yang benar. Karena mereka mengedepankan akal daripada penampakan
maupun fenomena agama, bukannya musalamat din. Mereka juga menganggap
bahwa akal sebagai hujjah lazim (bukti yang penting), bukannya hujjah
kofi (bukti yang cukup). Yang paling utama dari mazhab Mu’tazilah ini
adalah ashlu husn wa qubh akli (Prinsip kebaikan dan
keburukan secara akal). Pernyataan mereka dalam masalah ini adalah ijabe
juz’i (penegasan secara parsial), bukannya ijabe kuli (penegasan
secara umum).
Berkaitan dengan penyebab kedua di atas, Curbon masih rancu
membedakan antara prinsip iman kepada gaib dan pengetahuan hakiki. Sesuatu yang
harus diimani adalah waqiiyat gaib (realitas alam gaib). Sebagian dari
realitas, dapat dibuktikan melalui akal secara murni. Namun sebagian lagi
dibuktikan melalui syari’ah, dan ini lebih luas cakupannya daripada akal.
Pengetahuan hakiki adalah gaib. Oleh karenanya, kemampuan akal biasa untuk
memahami pengetahuan tauhid yang tinggi tersebut adalah terbatas. Untuk itu,
masih dibutuhkan wahyu sebagai “akal unggul” atau “akal superior” untuk dapat
memahaminya.
Oleh sebab itu, keyakinan bahwa akal mampu secara independen
untuk memahami lautan pengetahuan, meskipun dengan keterbatasan kemampuan yang
dimilikinya, tidak berarti kontradiksi dengan kebutuhan kita akan hidayah
wahyu. Tidak mudahnya menangkap realita yang sudah sangat jelas ini membuat
takjub para peneliti yang berpikir realistis, seperti Curbon.
3. Alasan
lain yang sempat diperbincangkan mengenai masalah ini, adalah al-Asy’ari
bangkit untuk memperbaiki akidah Ahlul Hadis dan menolak pendapat Mu’tazilah
yang pada waktu itu menjadi pola pikir mayoritas kaum Muslim. Akidah Mu’tazilah
telah menyebar dalam pola pikir masyarakat Muslim pada zaman itu. Di samping
itu, akidah ini juga sudah bercampur dengan pemikiran sesat dan kesyirikan,
seperti keyakinan tajsim (akidah yang meyakini Tuhan itu seperti
benda/materi), penyamaan Allah dengan sesuatu dan faham Jabariyah
(determinisme). Menurut al-Asy’ari, perbaikan akidah tersebut tidak mungkin
dilakukan, kecuali dengan jalan secara terang-terangan keluar dari mazhab
Mu’tazilah dan secara terang-terangan pula setia kepada akidah Ahlul Hadis.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
al-Asy’ari sebenarnya tidak menentang akidah Mu’tazilah dan metode pemikiran
mereka. Keluarnya ia dari mazhab ini semata-mata hanyalah sebuah penerapan ilmu
kalam dan bertujuan demi kemaslahatan umat Islam. Ia berharap dengan
cara inilah, kiranya ia bisa membebaskan mereka dari bahaya tajsim dan
tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu). Tetapi hal ini tidak
sesuai dengan kenyataan sejarah yang ada, karena :
1. Pertama,
mujasemeh (kelompok yang berkeyakinan bahwa Tuhan berjasad) dan mutasyabeh
(kelompok yang berkeyakinan bahwa Tuhan mirip dengan sesuatu) adalah dua
kelompok Ahlul Hadis yang sering disebut juga dengan Husywiyah
(kelompok tradisional). Akidah kelompok ini
tidak diterima oleh kelompok-kelompok Ahlul Hadis yang lainnya. Ibnu Khuzaimah
berkata: “Sesungguhnya kami menyifati Allah seperti apa yang Allah sifati
terhadap diri-Nya sendiri. Dan kami mengakui dengan lisan kami. Kami
membenarkankannya dengan sepenuh hati kami tanpa harus kami menyerupakan dengan
salah satu makhluk-Nya. Karena sesungguhnya, Dia Maha Mulia dan Agung dari
semua penyerupaan kita terhadap para makhluk-Nya.”
Kami
menyifati Allah sebagaimana Dia menyifati diri-Nya sendiri. Dan kami juga
mengimani serta mengucapkannya dengan lisan, meski kami tidak menyamakan Allah
dengan makhluk-Nya.
2. Kedua, hasil
penelitian dari karya-karya al-Asy’ari yang ada menunjukkan bahwa ia secara
hakikat menentang akidah dan prinsip Mu’tazilah. Dan penentangan ini tidak
secara zahir saja.
3. Mengenai hal ini, Para
penulis buku sejarah filsafat Islam mengatakan bahwa: “Kemungkinan alasan yang
lain adalah adanya perpecahan dan ketidakbersatuan umat Islam. Dan hal ini
dapat menimbulkan bahaya sehingga dapat menghancurkan agama itu sendiri. Di
satu sisi al-Asy’ari adalah seorang yang saleh dan berbudi luhur. Ia tidak rela
jikalau agama Allah dan sunah Rasul-Nya menjadi korban akidah Mu’tazilah yang
hanya berdasarkan akal murni saja. Oleh karenanya, ia terpaksa menunjukkan
akidahnya bahwa Islam yang sahih tidak seperti itu. Ia juga tidak rela kalau
agama Allah menjadi korban Ahlul Hadis dan penyebar faham tasybih.
Karena mereka hanya melihat zahir nas saja, bukan memandang ruh dan hakikat
sebenarnya. Hal ini membuat agama menjadi terkesan kaku, karena tidak menerima
akal, juga tidak memuaskan rasa keagamaan itu sendiri. Al-Asy’ari memilih
metode keduanya, yaitu metode tengah-tengah antara akal dan nas. Ia
berkeyakinan bahwa metode itulah yang dapat membebaskan Islam dan kam
Muslimin”.
B. Prinsip Dasar Teologi
Al-Asy’ari
Al-Asy’ari memulai pembicaraan tentang pokok ‘aqidah yaitu wujud Allah. Untuk itu, kata al-Syahrastani, al-Asyari lebih dulu
menegaskan hudust al-insan, atau
manusia itu selalu berubah. Selagi dalam perut ibunya, berubah dari nutfah, menjadi ‘alaqah, selanjutnya menjadi mudhghah,
dan akhirnya janin. Dan setelah lahir ke dunia, dari bayi berkembang menjadi
anak-anak, terus menjadi remaja, kemudian dewasa, sampai tua dan akhirnya
meninggal. Perubahan karena perbuatan atau ciptaan manusia itu sendiri. Bukan
pula oleh orang tua atau ibu bapaknya. Semuanya itu bermula dari pelaku yang
qadim serta kuasa dan mampu melakukannya. Itulah Dia Allah yang maha Esa.
(Musa, op.cit., 221, al-Syahrastani 12). Jadi Allah itu wajib al-wujud.
Lebih jauh, al-Asy’ari menjelaskan bahwa tak mungkin manusia
itu yang mengubah-ubah dirinya dari nutfah
ke ‘alaqah dan mudhghah, berdaging, bertulang dan berdarah, dari kanak-kanak
menjadi remaja, atau dari tua menjadi muda kembali. Semua kejadian atau proses
ini kembali kepada mudabbir,
pengatur, pelaku dan pelaksana. Mustahil terjadi yang hadist tanpa adanya muhdist.
Seperti halnya ada kain tanpa penenun, adanya bangunan tanpa pembangun, atau
tulisan tanpa ada penulisnya.
Selain itu menurut al-Asy’ari (1952 : 37), semua perbuatan (aksab) manusia adalah makhlukatau
diciptakan oleh Allah. Firman Allah : “Dan Allah lah yang menciptakan kamu dan
perbuatanmu” (Q.S. al Shafat), menunjukkan yang demikian. Perbuatanmu, artinya
kerja atau perbuatan itu sendiri. Bukan hasil kerja atau hasil perbuatan itu,
seperti patung hasil pahatan tukang pahat. Kerja mereka memahat itu juga Allah
yang menciptakan. Adapun batu kayu yang menjadi bahan pembuatan patung itu,
jelas ciptaan Allah, bukan hasil dari tukang tersebut.
Tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang melakukan serta
tidak ada yang menentukan suatu perbuatan, termasuk kasb manusia, selain dari Allah, tegas al-Asy’ari. Selanjutnya
beliau mengatakan : “ Semua perbuatan mestilah ada ada yang membuatnya. Tidak
ada suatu perbuatan yang tidak ada pelakunya. Pelaku atau fa’il itu tidak lain hanyalah Allah. Demikian juga, suatu perbuatan
mesti ada muktasib yaktasibuh. Dan karena perbuatan atau fa’il itu adalah kasb, maka muktasib-nya tidak
lain adalah Allah.
Secara ringkas, pendapat al-Asya’ri dapat disimpulkan sebagai
berikut : Manusia dalam pandangan al-Asy’ari mempunyai kehendak dan daya yang
terdapat dalam al-kasb. Sedangkan al-kasb itu sendiri diciptakan Tuhan.
Dengan demkian manusia hampir-hampir tidak mempunyai peranan dalam mewujudkan
perbuatannya, kalau tidak akan dikatakan tidak mempunyai peran sama sekali.
Atas dasar itu pula agaknya ia memandang perbuatan yang terwujud sebagai
perbuatan Tuhan dalam arti yang sebenarnya, sedangkan perbuatan manusia dalam
arti yang majazi. (Nukman Abbas, 2006 : 7)
Namun pada pendapatnya yang demikian, ia meletakkan taklif
(tanggung jawab manusia atas perbuatannya). Pendapat al-Asy’ari tersebut sukar
untuk diterima sebagian orang, karena adanya pertanggung jawaban manusia pada
perbuatan yang bukan perbuatan sebenarnya.
Di samping itu, dengan cara atau ungkapan lain al-Asy’ari
menegaskan, tidak ada pengaruh (efektivitas) qudrah manusia terhadap perbuatannya yang terwujud dengan qudrah Allah itu. Memang sangatlah susah
dan musykil untuk membedakan ungkapan yang mengatakan “adanya qudrah tetapi tidak efektif” dengan
“tidak adanya qudrah”. Karena ini
termasuk suatu yang ada tetapi tidak efektif keberadaannya, dan tidak
berpengaruh sama sekali. Suatu hal yang memang sangat sulit untuk dipahami.
Karena itulah timbul ungkapan “lebih rumit dari kasb-nya al-Asy’ari”. (Musthafa Shabri, 1352 H : 49)
Walaupun
al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu,
mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam
menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan
Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
Jadi, pendapat al-Asy’ari tentang masalah akal dan wahyu,
serta kriteria baik dan buruk. Wahyu itu lebih diutamakan dari pada akal. Namun
tidak mengurangi fungsinya untuk merasionalkan agama, serta batasan untuk
menentukan baik dan buruk. Karena wahyu bersifat subjektif, artinya sesuai
dengan realita yang ada.
Al-Asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya al-Qur’an.
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak
qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa al-Qur’an
adalah kalam Allah, (yang qadim dan diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat
bahwa semua huruf, kata, dan bunyi al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka
mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, al-Asy’ari mengatakan
bahwa al-qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak
melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Tentang kemakhlukan
al-Qur’an. Bila diungkapkan al-Qur’an merupakan hadist, sedangkan makna yang terkandung di dalamnya merupakan qadim.
Dan juga masalah melihat Allah. Bahwa Allah dapat dilihat
dengan syarat, pikiran Allah tidak terdapat tujuan tertentu yang membatasi
aktifitas-Nya. Allah mungkin menuntun bertanggung jawab, karena kehendak Allah
tidak terbatasi oleh konsiderasi teologis.
Pada
dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam memandang makna keadilan. al-Asy’ari tidak sependapat dengan
Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa
orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya,
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang
memiliki dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik
mutlak.
Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan
bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di
antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat
bahwa mukmin yang berdosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufr.
Dapat disimpulkan dari uraian diatas, bahwa prinsip dasar
teologi al-Asy’ari melingkupi :
1.
Tentang Allah dan sifat-sifat Allah.
2.
Masalah kehendak bebas.
3.
Masalah akal dan wahyu serta
kriteria baik dan buruk.
4.
Tentang kemakhlukan al-Qur’an.
5.
Masalah melihat Allah.
6.
Keadilan.
7.
Kedudukan Orang Berdosa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Asy’ari adalah aliaran kalam ortodoks atau menggunakan
metode dialektika yang menyumbangkan aliran kalam Mu’tazilah, hampir sama
dengan aliran Zahiriyah. Al-Asy’ari berada diantara aliran Mu’tazilah dan kalam
ultra ortodoks seperti Zahiriyah, Mujassimah (kaum anthropomorfis), Fuqaha’
yang menganggap dogma sebagai bid’ah.
Untuk itu Prinsip dasar teologi al-Asy’ari melingkupi :
1.
Tentang Allah dan sifat-sifat
Allah.
2.
Masalah kehendak bebas.
3.
Masalah akal dan wahyu serta
kriteria baik dan buruk.
4.
Tentang kemakhlukan al-Qur’an.
5.
Masalah melihat Allah.
6.
Keadilan.
7.
Kedudukan Orang Berdosa.
B.
Saran
Kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak dalam proses
penyelesaian makalah yang kami buat, baik dari para pembaca umumnya dan dosen
pengampu khususnya. Karena, mungkin literatur yang telah kami jadikan pedoman
masih kurang memenuhi standar atau boleh dibilang kurang memuaskan dalam
pembuatan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abu al-Hasan. 1952. Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala ahl al-Zaig wa al-Bida’. Beirut : al-Maktabah
al-Katsulikiyyah.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2010. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.
Shabri, Musthafa. 1352 H. Mauqif
al-Basyar Tahta Sulthan al-Qadar. Kairo : al-Maktabah al-Salafiyyah wa
Maktabatuha.
No comments:
Post a Comment