Friday, December 21, 2012

UAS Hukum Adat

Makalah Hukum Bisnis

UAS
Hukum Adat
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah “Hukum Adat

Dosen Pembimbing:
Sri Warjiati, S. H, M. H

Disusun Oleh:
M. Kanzul Fikri Aminuddin            (C02210044)

JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
SURABAYA
2012

1.      Mencermati batang tubuh UUD 1945, maka keberadaan hukum adat itu integral dengan rumusan Pasal 18B yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur damam undang-undang.”
Bahkan, keberadaan hukum adat makin kuat dengan adanya deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang antara lain menyatakan, “Mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga-warga masyarakat adat diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif yang sangat diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh sebagai kelompok masyarakat.”
Dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu dinyatakan pula, “Bahwa masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah keturunan dari penduduk yang mendiami negara yang bersangkutan, atau berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang bersangkutan berada, pada waktu penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas negara saat ini dan yang tanpa memandang status hukum mereka, tetap mempertahankan beberapa atau seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendiri.
Artinya, dimasa depan eksistensi hukum adat tidak hanya menjadi perhatian pembangunan hukum nasional, tetapi sekaligus akan menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam pergaulan dunia internasional. Khusunya dengan makin derasnya tuntutan globalisasi hukum yang pada saat ini, tampak lebih berkembang dalam skala kepentingan hubungan ekonomi yang mereduksi kedaulatan hukum negara-negara nasional. Imbasnya tentu akan lebih berat terhadap hukum adat. Karena itu di dalam pembangunan hukum nasional, pemerintah harus memberikan tempat kepada tumbuh dan berkembangnya hukum adat dengan baik. Dengan deklarasi masyarakat hukum adat 1989 itu, sesungguhnya menjadi piranti bagi suatu negara, termasuk Indonesia dalam menekan penetrasi internasional, pada saat mana hukum nasional berkemungkinan tidak mampu melawan kuatnya tekanan dunia internasional. Bahkan konvesi masyarakat hukum adat itu menegaskan, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun, dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi yang terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan mereka.
Kelahiran Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang setidaknya memberikan jaminan akan terpeliharanya nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat hukum adat atau terpelihara hukum adat di Indonesia. Dalam hubungan ini, selain dalam pembentukan hukum nasional diintrodisirnya sejumlah asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan jelas akan mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia di masa datang, termasuk dampaknya terhadap hukum adat. Pembentukan undang-undang sebagai salah satu bagian dari sistem hukum, yang berdasarkan UU No.10 Tahun 2004, maka materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung beberapa asas yang antara lain adalah asas bhineka tunggal ika. Asas materi muatan peraturan undang-undang ini, mengandung makna yang luas, dan sekaligus mengisyaratkan masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Asas bhineka Tunggal Ika tersebut integral dengan asas dapat dilaksanakan, dimana setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Dalam konteks ini bisa dipahami, hukum negara bisa jadi tidak efektif apabila pembentukkannya mengabaikan keberadaan hukum adat suatu masyarakat.

2.      A.  Masa Hindia Belanda
Indische Staatsregeling, salah satu dasar hukum yang menjelaskan berlakunya hukum adat terdapat pada Pasal 131 ayat (2) huruf a menjelaskan hukum yang berlaku bagi golongan Eropa, bahwa untuk hukum perdata materiil bagi golongan Eropa berlaku asas konkordansi, artinya bagi orang Eropa pada asasnya hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda akan dipakai sebagai pedoman dengan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan berhubung keadaan yang istimewa, dan juga pada Pasal 131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia asli atau pribumi dan golongan timur asing, yang pada intinya menjelaskan bagi golongan pribumi dan timur asing berlaku hukum adat masing-masing dengan kemungkinan penyimpangan dalam hal:
a.       Kebutuhan masyarakat menghendakinya, maka akan ditundukan pada perundang-undangan yang berlaku bagi golongan eropa.
b.      Kebutuhan masyarakat menghendaki atau berdasarkan kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi dapat mengadakan hukum yang berlaku bagi orang Indonesia dan timur asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan itu, yang bukan hukum adat bukan pula hukum eropa melainkan hukum yang diciptakan oleh Pembntuk UU sendiri.
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang juga terdapat regulasi yang mengatur tentang hukum adat di Indonesia, yaitu pada Pasal 3 UU No.1 Tahun 1942 yang menjelaskan bahwa semua badan pemerintah dan kekuasaanya, hukum dan UU dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan militer.
Setelah Kemerdekaan RI
Dasar hukum berlakunya dan diakuinya hukum adat di Indonesia juga diatur setelah Indonesia merdeka. Contohnya pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala badan negara dan peraturan yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini” menjelaskan bahwa dalam pembentukan regulasi peraturan mengenai hukum adat yang lebih jelas, maka dasar hukum sebelumnya yang tetap digunakan untuk perihal berlakunya hukum adat.
Pada Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950 pun juga terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat. “Pasal tersebut menjelaskan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.” Terdapat juga pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pasca dekrit presiden 5 Juli 1959 Ranah Undang-Undang dan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hukum yang dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yakni yang sifatnya berakar pada kepribadian bangsa” dan Pasal 17 ayat (2) yang menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Di zaman modern, setelah Indonesia memasuki era reformasi, ketentuan yang mengatur mengenai hukum adat lebih jelas dasar yuridisnya. Setelah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pada Pasal 18 B ayat (2), hukum adat dihargai dan diakui oleh negara, Pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”. Pasal tersebut telah membuktikan bahwa dasar yuridis berlakunya hukum adat di Indonesia ada, dan diakui oleh pemerintah.
Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ 1960 dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan bahwa:
a.       Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
b.      Dalam usaha ke arah homoginitas hukum supaya dapat diperhatikan kenyataan-kenyataannya yang hidup di Indonesia. Dalam pemyempurnaan UU hukum perkawinan dan waris, supaya dapat memperhatikan faktor-faktor agama, adat dan lain-lain.
UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil. Pasal 1 ayat 2 UU Drt. 1 tahun 1951 secara berangsur-angsurkan ditentukan oleh menteri kehakiman, dihapus:
a.       Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera
Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
b.      Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UUD rt.  No. 1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.
UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyrakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah yang ada di wilayahnya.
Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.
Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang (dengan pembatasan) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama.
UU No. 41 tahun 199 UU Pokok Kehutanan Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.
UU No. 4 tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
a.       Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
b.      Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan PP No. 4 1988 tentang Rumah Susun. UU No. 16 tahun 1985 mengangkat lembaga Hukum Adat dengan cara dimasukkan ke dalam UU tsb yaitu, asas pemisahan hirizontal.
PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan penyempurnaan PP No. 10 tahun 1961. PP No. 24 tahun 1997 diundangkan pada juli 1997 dan berlaku efektif 8 oktober 1997, yang mengangkat dan memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu lembaga rechtsverwerking (perolehan hak karena menduduki tanah dan menjadikannya sebagai hak milik dengan syarat yaitu iktikad baik selama 20 tahun berturut-turt tanpa ada gangguan/tuntutan dari pihak lain dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat lembaga aquisitive verjaring kehilangan hak untuk menuntut hak milik.

B.  Karena Komisi Scholten van Oud Haarlem yang bertugas membuat rencana yang diperlukan agar kodifikasi hukum Belanda tersebut dapat diterapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul yang sesuai dengan pelaksanaan tugas tersebut sendiri berpendirian, tidak akan menjamah hukum privat adat. Menurut lembaga ini, bangsa Indonesia harus bebas dari penerapan asas unifikasi hukum yang termaktub dalam Instruksi Pemerintah Pusat di Belanda. Tetapi selanjutnya Wichers, seorang anggota parlemen Belanda berpendapat bahwa penerapan sebagian hukum eropa terhadap golongan rakyat Bumiputera harus dilakukan. Pendapat tersebut kemudian diamini oleh Raad van Indie. Dimana kemudian muncul Pasal 11 AB, yang berisi mengenai penerapan hukum adat bagi golongan rakyat Bumiputera yang tidak menundukkan diri secara sukarela kepada peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang barat.
Namun, Tidak cukup sampai di situ, perdebatan pun berlanjut, ketika Gubernur Jenderal Rochussen menolak pendapat dari Wichers dan Raad van Indie. Menurutnya, pemberlakuan hukum eropa kepada rakyat bumiputera akan mengakibatkan masyarakat terpecah belah dan akan menghilangkan alat pengikat serta dasar sosiologis mereka. Pandangan Rochussen ini kemudian direspon lagi oleh Wichers untuk tetap mempertahankan pendapatnya semula. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, di luar dugaan Raad van Indie justru menentang ide Wichers tersebut. Raad van Indie tidak menolak ide pemberlakuan sebagian hukum eropa atas bumiputera tetapi institusi ini menolak pemberlakuan seluruh hukum eropa atas Hindia Belanda, sebagaimana diutarakan Wichers.
Perdebatan tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa hukum adat ternyata memiliki posisi penting kala itu, dan bahwa pemberlakuannya diakui dan dihormati oleh pemerintah kolonial. Periode berikutnya adalah ketika munculnya Agrarische Wet pada tahun 1870 melalui ketentuan Staadblad 1870 – 55. Peraturan ini menegaskan bahwa bumiputera memiliki hak atas tanah dan pemerintah Hindia Belanda dilarang untuk mengurangi hak-hak tersebut kecuali dengan penyitaan oleh atau dengan undang-undang. Ini berarti bahwa pemberlakuan hukum adat masih diakui dan dihormati. Namun, untuk beberapa lama, perdebatan atas hukum adat sempat terhenti.
Setelah tahun 1880, perdebatan tentang hukum adat dimulai lagi. Ada keinginan untuk memperbaiki hukum perdata bumiputera. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperoleh kepastian hukum yang lebih besar bagi perdagangan dan perusahaan swasta asing. Bahkan pada tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda mengajukan konsep untuk membuat suatu unifikasi hukum yang pada prinsipnya harus didasarkan atas sistem hukum eropa. Namun demikian, konsep ini ditentang habis oleh van Vollenhoven, yang pada saat itu sudah menjadi guru besar di Universitas Leiden.
Polemik pemberlakuan hukum adat ini kemudian berlanjut pada tahun 1927. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda mengubah pikirannya dengan menolak konsep unifikasi hukum. Pilihan yang ditempuh pemerintah Hindia Belanda pada saat itu adalah bahwa kodifikasi hukum akan didasarkan kepada asas-asas hukum eropa dan hukum adat. Apabila hukum adat belum dapat diganti atau ditinggalkan karena pemberlakuan hukum lain, maka hukum adat yang berlaku akan tetap dipertahankan.

3.      Menurut soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas 2 golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (teritorial), kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut diatas (Soepomo 1977: 51 dan seterusnya).

4.      A.  Inti dari teori Receptio in Complexu ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”.
Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima secara keseluruhan) itu.
Pendapat Hazairin tentang Receptio in Complexu adalah sebagai berikut:
Pada tahun 1950 memberikan pandangan agar hukum Islam diberlakukan tidak atas dasar hukum adat. Pandangan ini dipertegas lagi pada tahun 1963, bahkan ia menyatakan teori Reception in Complexu sebagai teori iblis yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-sunnah. Pada tahun 1969 kembali Hazairin secara tegas menyatakan tidak berlakunya teori Reception in Complexu karena telah dihapus secara meyakinkan oleh pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945.
Dari situlah beliau merumuskan sebuah teori yang dikenal dengan receptie exit. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945  (UUD ’45) dijadikan undang-undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan-peraturan perundang-undangan Hindia Belanda  yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi.
Alasan yang dikemukakan oleh Hazairin adalah bahwa teori Reception in Complexu bertentangan dengan jiwa UUD’45. dengan demikian teori Reception in Complexu itu harus exit, alias ke luar dari tata hukum Indonesia merdeka. Secara tegas UUD’45 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kebebasan penduduk menurut agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Dengan dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2). Teori ini menandai babak baru pembaharuan hukum Islam  (fiqh) di Indonesia dengan nuansa ke Indonesiaan-nya.
Teori yang digagas oleh Hazairin ini kemudian dikembangkan oleh Suyuti Thalib, dengan meperkenalkan teori Receptie a Contrario. Teori Receptie a Contrario ini secara etimologis berarti lawan dari teori Reception in Complexu menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Dengan demikian dalam teori ini hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.

B.  Sistem Kekerabatan Parental
Anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri (Van Dijk, 2006, hal: 40)
Perkawinan dalam keluarga Parental: Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri.
Dalam susunan kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan (Parental ouderrechtelijk) yaitu, pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing. Si suami berbagai akibat dari perkawinan menjadi anggota keluarga si isteri, dan si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami. Jadi masing-masing suami isteri, sebagai akibat suatu perkawinan, masing-masing mempunyai 2 (dua) kekelurgaan, sedangkan dalam kekeluargaan dari orang-orang tuanya mereka masing-masing juga mempunyai 2 (dua) kekeluargaan, yaitu dari ayahnya dan ibunya. Demikian juga seterusnya untuk anak-anak keturunannya tiada perbedaan antara laki -laki dan perempuan, antara cucu laki-laki dan cucu perempuan (Prodjodikoro, 1983: 17). Juga pada susunan kekeluargaan ini dikenal pula adanya penggantian tempat (Plaatsvervulling) (Tobing, 1989: 30).
Sifat kekerabatan kebapak-ibuan atau parental (bilateral) bagi masyarakat hukum Indonesia menurut Sudarsono (1991: 174) adalah bahagian dari budaya hukum masyarakat Indonesia, karena sifat kekerabatan bilateral inilah yang sangat dominan di seluruh Indonesia. Kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan ini adalah paling merata terdapat di Indonesia, yaitu, Di Jawa, Madura, Suimatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok (Prodjodikoro, 1983: 17).
Sistem Kekerabatan Patrilineal
Anak menghubungkan diri dengan ayahnya (berdasarkan garis keturunan laki-laki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam susunan masyarakat Patrilineal yang berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga akan mendapatkan lebih banyak.
Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilineal:
  1. Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”
  2. Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
  3. Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
  4. Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal di rumah suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
Pada susunan kekeluargaan yang bersifat kebapakan (Patriachaat, Vaderrechtelijk) atau istilah Patrilineal (Tobing, 1989: 27) menganut paham bahwa hanya anak laki-laki saja yang menjadi ahli waris, oleh karena anak perempuan setelah ia kawin, keluar dari lingkungan keluarganya yang semula, yaitu lingkungan patrilinealnya yang semula (Tobing, 1989: 29). Jadi anak laki-laki di dalam sistem kekeluargaan kebapakan ini mendapat warisan dari bapak maupun ibunya. Kekeluargaan yang bersifat kebapakan ini terdapat di daerah Tanah Gayo, Alas, Batak, ambon, Irian, Timor, dan Bali (Prodjodikoro, 1983: 16).
Sistem Kekerabatan Matrilineal
Anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyakk dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak (Bushar Muhammad, 2006, hal: 5).
Perkawinan dalam keluarga Matrilineal:
  1. Dalam upacara perkawianan mempelai laki-laki dijemput
  2. Suami berdiam di rumah isterinya, tetapi suami tetap pada keluarganya sendiri.
  3. Anak-anak masuk dalam keluarga isterinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
Dalam susunan kekeluargaan yang bersifat keibuan (Matriachaat, Moderrechtelijk) atau istilah Matrilineal (Tobing, 1989: 27) yang menjadi ahli waris adalah semua anak dari si isteri, dan si suami turut berdiam di rumah si isteri atau keluarganya. Si suami sendiri tid ak masuk keluarga si isteri, dan si ayah pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya (Prodjodikoro, 1983: 16). Anak-anak keturunannya hanya di anggap kepunyaan ibunya saja, bukan kepunyaan ayahnya. Jika si suami meninggal dunia, maka yang menjadi ahli warisnya adalah saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka (Tobing, 1989: 30). Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini, di Indonesia hanya terdapat di Minangkabau (Prodjodikoro, 1983: 16).

No comments:

Sample text

Hargailah yang bersusah payah membuat blog ini