UAS
Hukum Adat
Diajukan Untuk
Memenuhi Mata Kuliah “Hukum Adat”
Dosen Pembimbing:
Sri Warjiati, S. H, M. H
Disusun Oleh:
M. Kanzul Fikri Aminuddin (C02210044)
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
SURABAYA
2012
1. Mencermati batang tubuh UUD 1945,
maka keberadaan hukum adat itu integral dengan rumusan Pasal 18B yang
menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur damam undang-undang.”
Bahkan,
keberadaan hukum adat makin kuat dengan adanya deklarasi PBB tentang hak-hak
masyarakat adat yang antara lain menyatakan, “Mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga-warga masyarakat adat
diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam
hukum internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif yang
sangat diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang
utuh sebagai kelompok masyarakat.”
Dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu dinyatakan pula,
“Bahwa masyarakat hukum adat di
negara-negara merdeka yang dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah
keturunan dari penduduk yang mendiami negara yang bersangkutan, atau
berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang bersangkutan berada, pada
waktu penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas negara saat ini dan
yang tanpa memandang status hukum mereka, tetap mempertahankan beberapa atau
seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendiri.
Artinya,
dimasa depan eksistensi hukum adat tidak hanya menjadi perhatian pembangunan
hukum nasional, tetapi sekaligus akan menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam
pergaulan dunia internasional. Khusunya dengan makin derasnya tuntutan
globalisasi hukum yang pada saat ini, tampak lebih berkembang dalam skala
kepentingan hubungan ekonomi yang mereduksi kedaulatan hukum negara-negara
nasional. Imbasnya tentu akan lebih berat terhadap hukum adat. Karena itu di
dalam pembangunan hukum nasional, pemerintah harus memberikan tempat kepada
tumbuh dan berkembangnya hukum adat dengan baik. Dengan deklarasi masyarakat
hukum adat 1989 itu, sesungguhnya menjadi piranti bagi suatu negara, termasuk
Indonesia dalam menekan penetrasi internasional, pada saat mana hukum nasional
berkemungkinan tidak mampu melawan kuatnya tekanan dunia internasional. Bahkan
konvesi masyarakat hukum adat itu menegaskan, pemerintah
mempunyai tanggung jawab untuk menyusun, dengan partisipasi dari masyarakat
hukum adat yang bersangkutan, aksi yang terkoordinasi
dan sistematis untuk melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan
mereka.
Kelahiran Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undang setidaknya memberikan jaminan akan terpeliharanya
nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat hukum adat atau terpelihara hukum
adat di Indonesia. Dalam hubungan ini, selain dalam pembentukan hukum nasional
diintrodisirnya sejumlah asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
jelas akan mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia di masa datang, termasuk
dampaknya terhadap hukum adat. Pembentukan undang-undang sebagai salah satu bagian
dari sistem hukum, yang berdasarkan UU No.10 Tahun 2004, maka materi muatan
peraturan perundang-undangan mengandung beberapa asas yang antara lain adalah
asas bhineka tunggal ika. Asas materi muatan peraturan undang-undang ini,
mengandung makna yang luas, dan sekaligus mengisyaratkan masyarakat Indonesia
yang pluralistik.
Asas
bhineka Tunggal Ika tersebut integral dengan asas dapat dilaksanakan, dimana setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis
maupun sosiologis. Dalam konteks ini bisa dipahami,
hukum negara bisa jadi tidak efektif apabila pembentukkannya mengabaikan
keberadaan hukum adat suatu masyarakat.
2. A. Masa Hindia
Belanda
Indische
Staatsregeling,
salah satu dasar hukum yang menjelaskan berlakunya hukum adat terdapat pada
Pasal 131 ayat (2) huruf a menjelaskan hukum yang berlaku bagi golongan Eropa,
bahwa untuk hukum perdata materiil bagi golongan Eropa berlaku asas
konkordansi, artinya bagi orang Eropa pada asasnya hukum perdata yang berlaku
di negeri Belanda akan dipakai sebagai pedoman dengan kemungkinan
penyimpangan-penyimpangan berhubung keadaan yang istimewa, dan juga pada Pasal
131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan hukum yang berlaku bagi golongan
Indonesia asli atau pribumi dan golongan timur asing, yang pada intinya
menjelaskan bagi golongan pribumi dan timur asing berlaku hukum adat
masing-masing dengan kemungkinan penyimpangan dalam hal:
a. Kebutuhan masyarakat menghendakinya,
maka akan ditundukan pada perundang-undangan yang berlaku bagi golongan eropa.
b. Kebutuhan masyarakat menghendaki
atau berdasarkan kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi dapat mengadakan
hukum yang berlaku bagi orang Indonesia dan timur asing atau bagian-bagian
tersendiri dari golongan itu, yang bukan hukum adat bukan pula hukum eropa
melainkan hukum yang diciptakan oleh Pembntuk UU sendiri.
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan
Jepang juga terdapat regulasi yang mengatur tentang hukum adat di Indonesia,
yaitu pada Pasal 3 UU No.1 Tahun 1942 yang menjelaskan bahwa semua badan
pemerintah dan kekuasaanya, hukum dan UU dari pemerintah yang dahulu tetap
diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan
militer.
Setelah
Kemerdekaan RI
Dasar hukum berlakunya
dan diakuinya hukum adat di Indonesia juga diatur setelah Indonesia merdeka.
Contohnya pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala
badan negara dan peraturan yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini” menjelaskan bahwa dalam pembentukan regulasi peraturan
mengenai hukum adat yang lebih jelas, maka dasar hukum sebelumnya yang tetap
digunakan untuk perihal berlakunya hukum adat.
Pada Pasal 104 ayat (1)
UUDS 1950 pun juga terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat. “Pasal tersebut menjelaskan bahwa segala
keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman
menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat yang
dijadikan dasar hukuman itu.” Terdapat juga pada Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 pasca dekrit presiden 5 Juli 1959 Ranah Undang-Undang dan Pasal 3 UU
No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi “Hukum yang dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang
berdasarkan Pancasila, yakni yang sifatnya berakar pada kepribadian bangsa”
dan Pasal 17 ayat (2) yang menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis.
Di zaman modern,
setelah Indonesia memasuki era reformasi, ketentuan yang mengatur mengenai
hukum adat lebih jelas dasar yuridisnya. Setelah amandemen kedua UUD 1945,
tepatnya pada Pasal 18 B ayat (2), hukum adat dihargai dan diakui oleh negara,
Pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”. Pasal tersebut telah
membuktikan bahwa dasar yuridis berlakunya hukum adat di Indonesia ada, dan
diakui oleh pemerintah.
Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ 1960 dalam lampiran A
paragraf 402 disebutkan bahwa:
a. Asas pembinaan hukum nasional supaya
sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan makmur.
b. Dalam usaha ke arah homoginitas
hukum supaya dapat diperhatikan kenyataan-kenyataannya yang hidup di Indonesia.
Dalam pemyempurnaan UU hukum perkawinan dan waris, supaya dapat memperhatikan
faktor-faktor agama, adat dan lain-lain.
UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil. Pasal
1 ayat 2 UU Drt. 1 tahun 1951 secara berangsur-angsurkan ditentukan oleh
menteri kehakiman, dihapus:
a. Segala pengadilan swapraja kecuali
peradilan Islam negara Sumatera
Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
b. Segala pengadilan adat kecuali
Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UUD rt. No. 1 tahun 1951 hakim desa
tetap dipertahankan.
UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA
mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyrakat hukum adat untuk
melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat merupakan
aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah yang ada
di wilayahnya.
Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum
Adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak
boleh bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.
Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku
atas bumi, air, udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang (dengan
pembatasan) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme
dan undang-undang. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama.
UU No. 41 tahun 199 UU Pokok Kehutanan Menegaskan bahwa
pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak
perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya tujuan yang
dimaksud oleh UU ini.
UU No. 4 tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
a. Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala
putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat
pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
b. Pasal 28 ayat (1) yang isinya
tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan PP No. 4 1988
tentang Rumah Susun. UU No. 16 tahun 1985 mengangkat lembaga Hukum Adat dengan
cara dimasukkan ke dalam UU tsb yaitu, asas pemisahan hirizontal.
PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan
penyempurnaan PP No. 10 tahun 1961. PP No. 24 tahun 1997 diundangkan pada juli
1997 dan berlaku efektif 8 oktober 1997, yang mengangkat dan memperkuat
berlakunya Hukum Adat yaitu lembaga rechtsverwerking (perolehan hak karena
menduduki tanah dan menjadikannya sebagai hak milik dengan syarat yaitu iktikad
baik selama 20 tahun berturut-turt tanpa ada gangguan/tuntutan dari pihak lain
dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat lembaga aquisitive verjaring
kehilangan hak untuk menuntut hak milik.
B. Karena Komisi Scholten van Oud
Haarlem yang bertugas membuat rencana yang diperlukan agar kodifikasi hukum
Belanda tersebut dapat diterapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul
yang sesuai dengan pelaksanaan tugas tersebut sendiri berpendirian, tidak akan
menjamah hukum privat adat. Menurut lembaga ini, bangsa Indonesia harus bebas
dari penerapan asas unifikasi hukum yang termaktub dalam Instruksi Pemerintah
Pusat di Belanda. Tetapi selanjutnya Wichers, seorang anggota parlemen Belanda
berpendapat bahwa penerapan sebagian hukum eropa terhadap golongan rakyat
Bumiputera harus dilakukan. Pendapat tersebut kemudian diamini oleh Raad van
Indie. Dimana kemudian muncul Pasal 11 AB, yang berisi mengenai penerapan hukum
adat bagi golongan rakyat Bumiputera yang tidak menundukkan diri secara
sukarela kepada peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang barat.
Namun, Tidak cukup sampai di situ, perdebatan pun
berlanjut, ketika Gubernur Jenderal Rochussen menolak pendapat dari Wichers dan
Raad van Indie. Menurutnya, pemberlakuan hukum eropa kepada rakyat bumiputera
akan mengakibatkan masyarakat terpecah belah dan akan menghilangkan alat
pengikat serta dasar sosiologis mereka. Pandangan Rochussen ini kemudian
direspon lagi oleh Wichers untuk tetap mempertahankan pendapatnya semula. Tetapi
dalam perkembangan berikutnya, di luar dugaan Raad van Indie justru menentang
ide Wichers tersebut. Raad van Indie tidak menolak ide pemberlakuan sebagian
hukum eropa atas bumiputera tetapi institusi ini menolak pemberlakuan seluruh
hukum eropa atas Hindia Belanda, sebagaimana diutarakan Wichers.
Perdebatan tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa
hukum adat ternyata memiliki posisi penting kala itu, dan bahwa pemberlakuannya
diakui dan dihormati oleh pemerintah kolonial. Periode berikutnya adalah ketika
munculnya Agrarische Wet pada tahun 1870 melalui ketentuan Staadblad 1870 – 55.
Peraturan ini menegaskan bahwa bumiputera memiliki hak atas tanah dan
pemerintah Hindia Belanda dilarang untuk mengurangi hak-hak tersebut kecuali
dengan penyitaan oleh atau dengan undang-undang. Ini berarti bahwa pemberlakuan
hukum adat masih diakui dan dihormati. Namun, untuk beberapa lama, perdebatan
atas hukum adat sempat terhenti.
Setelah tahun 1880, perdebatan tentang hukum adat
dimulai lagi. Ada keinginan untuk memperbaiki hukum perdata bumiputera. Hal ini
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperoleh kepastian hukum yang lebih
besar bagi perdagangan dan perusahaan swasta asing. Bahkan pada tahun 1901
pemerintah Hindia Belanda mengajukan konsep untuk membuat suatu unifikasi hukum
yang pada prinsipnya harus didasarkan atas sistem hukum eropa. Namun demikian,
konsep ini ditentang habis oleh van Vollenhoven, yang pada saat itu sudah
menjadi guru besar di Universitas Leiden.
Polemik pemberlakuan hukum adat ini kemudian berlanjut
pada tahun 1927. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda mengubah pikirannya dengan
menolak konsep unifikasi hukum. Pilihan yang ditempuh pemerintah Hindia Belanda
pada saat itu adalah bahwa kodifikasi hukum akan didasarkan kepada asas-asas
hukum eropa dan hukum adat. Apabila hukum adat belum dapat diganti atau
ditinggalkan karena pemberlakuan hukum lain, maka hukum adat yang berlaku akan
tetap dipertahankan.
3. Menurut soepomo, maka masyarakat-masyarakat
hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas 2 golongan menurut dasar susunannya,
yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan
daerah (teritorial), kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang
didasarkan pada kedua dasar tersebut diatas (Soepomo 1977: 51 dan seterusnya).
4. A. Inti dari teori Receptio in Complexu ini adalah sebagai
berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini
hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti
hukum agama itu dengan setia”.
Tegasnya
menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu,
maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya
itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka
hal ini dianggap sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum
agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima secara
keseluruhan) itu.
Pendapat
Hazairin tentang Receptio in Complexu adalah sebagai berikut:
Pada
tahun 1950 memberikan pandangan agar hukum Islam diberlakukan tidak atas dasar
hukum adat. Pandangan ini dipertegas lagi pada tahun 1963, bahkan ia menyatakan
teori Reception in Complexu sebagai teori iblis yang jelas-jelas bertentangan
dengan Al-Qur’an dan as-sunnah. Pada tahun 1969 kembali Hazairin secara tegas
menyatakan tidak berlakunya teori Reception in Complexu karena telah dihapus
secara meyakinkan oleh pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945.
Dari
situlah beliau merumuskan sebuah teori yang dikenal dengan receptie exit.
Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi kemerdekaan
Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45) dijadikan undang-undang
Negara Republik Indonesia, semua peraturan-peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi.
Alasan
yang dikemukakan oleh Hazairin adalah bahwa teori Reception in Complexu
bertentangan dengan jiwa UUD’45. dengan demikian teori Reception in Complexu
itu harus exit, alias ke luar dari tata hukum Indonesia merdeka. Secara tegas
UUD’45 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara
menjamin kebebasan penduduk menurut agamanya masing-masing dan kepercayaannya
itu. Dengan dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2). Teori ini menandai
babak baru pembaharuan hukum Islam (fiqh) di Indonesia dengan nuansa ke
Indonesiaan-nya.
Teori
yang digagas oleh Hazairin ini kemudian dikembangkan oleh
Suyuti Thalib, dengan meperkenalkan teori Receptie a Contrario. Teori Receptie
a Contrario ini secara etimologis berarti lawan dari teori Reception in
Complexu menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat
itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Dengan demikian
dalam teori ini hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
B. Sistem
Kekerabatan Parental
Anak menghubungkan
diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri dengan kerabat
ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua
maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik
tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam
susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan
perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak
langsung oleh perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu
dan ayahnya sendiri (Van Dijk, 2006, hal: 40)
Perkawinan dalam
keluarga Parental: Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga
suami maupun keluarga isteri.
Dalam susunan kekeluargaan
yang bersifat kebapak-ibuan (Parental ouderrechtelijk) yaitu, pada hakekatnya
tidak ada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannya dalam keluarga
masing-masing. Si suami berbagai akibat dari perkawinan menjadi anggota
keluarga si isteri, dan si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami. Jadi
masing-masing suami isteri, sebagai akibat suatu perkawinan, masing-masing
mempunyai 2 (dua) kekelurgaan, sedangkan dalam kekeluargaan dari orang-orang
tuanya mereka masing-masing juga mempunyai 2 (dua) kekeluargaan, yaitu dari
ayahnya dan ibunya. Demikian juga seterusnya untuk anak-anak keturunannya tiada
perbedaan antara laki -laki dan perempuan, antara cucu laki-laki dan cucu perempuan
(Prodjodikoro, 1983: 17). Juga pada susunan kekeluargaan ini dikenal pula
adanya penggantian tempat (Plaatsvervulling) (Tobing, 1989: 30).
Sifat kekerabatan
kebapak-ibuan atau parental (bilateral) bagi masyarakat hukum Indonesia menurut
Sudarsono (1991: 174) adalah bahagian dari budaya hukum masyarakat Indonesia,
karena sifat kekerabatan bilateral inilah yang sangat dominan di seluruh
Indonesia. Kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan ini adalah paling merata
terdapat di Indonesia, yaitu, Di Jawa, Madura, Suimatera Timur, Riau, Aceh,
Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok
(Prodjodikoro, 1983: 17).
Sistem
Kekerabatan Patrilineal
Anak menghubungkan
diri dengan ayahnya (berdasarkan garis keturunan laki-laki). Sistem kekerabatan
ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis
keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam susunan masyarakat Patrilineal
yang berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak bapak
(laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga akan
mendapatkan lebih banyak.
Perkawinan dalam
kekeluargaan Patrilineal:
- Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”
- Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
- Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
- Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal di rumah suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
Pada susunan
kekeluargaan yang bersifat kebapakan (Patriachaat, Vaderrechtelijk) atau
istilah Patrilineal (Tobing, 1989: 27) menganut paham bahwa hanya anak
laki-laki saja yang menjadi ahli waris, oleh karena anak perempuan setelah ia
kawin, keluar dari lingkungan keluarganya yang semula, yaitu lingkungan
patrilinealnya yang semula (Tobing, 1989: 29). Jadi anak laki-laki di dalam
sistem kekeluargaan kebapakan ini mendapat warisan dari bapak maupun ibunya.
Kekeluargaan yang bersifat kebapakan ini terdapat di daerah Tanah Gayo, Alas,
Batak, ambon, Irian, Timor, dan Bali (Prodjodikoro, 1983: 16).
Sistem
Kekerabatan Matrilineal
Anak menghubungkan
diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan). Sistem kekerabatan
ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan
perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal,
keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan
hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para
warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan
tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyakk
dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak (Bushar Muhammad,
2006, hal: 5).
Perkawinan dalam
keluarga Matrilineal:
- Dalam upacara perkawianan mempelai laki-laki dijemput
- Suami berdiam di rumah isterinya, tetapi suami tetap pada keluarganya sendiri.
- Anak-anak masuk dalam keluarga isterinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
Dalam susunan
kekeluargaan yang bersifat keibuan (Matriachaat, Moderrechtelijk) atau istilah
Matrilineal (Tobing, 1989: 27) yang menjadi ahli waris adalah semua anak dari
si isteri, dan si suami turut berdiam di rumah si isteri atau keluarganya. Si
suami sendiri tid ak masuk keluarga si isteri, dan si ayah pada hakekatnya
tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya (Prodjodikoro, 1983: 16).
Anak-anak keturunannya hanya di anggap kepunyaan ibunya saja, bukan kepunyaan
ayahnya. Jika si suami meninggal dunia, maka yang menjadi ahli warisnya adalah
saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka (Tobing, 1989: 30).
Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini, di Indonesia hanya terdapat di
Minangkabau (Prodjodikoro, 1983: 16).
No comments:
Post a Comment